TAK BISAKAH KITA SEPERTI DULU SAJA?

 

Tak Bisakah Kita Seperti  Dulu Saja?

( Teruntuk kamu, seseorang dengan tawa yang selalu lalu lalang di altar ilusiku. )

Aku ingin bicara, tapi tak dapat aku bersuara. Izinkan aku menyapamu dalam rintik-rintik hujan malam yang dalam setiap rintikannya aku mendoakan : segera hapus dirimu dari hati dan fikiranku. Izinkan aku menyapamu lewat secangkir kopi kesukaanmu dengan takaran banding dua kopi satu gula dengan air tiga per empat dari gelas saji. Izinkan aku menyapamu dengan lembar demi lembar buku yang kubaca, dimana setiap halaman  yang kuraba mengingatkanku bagaimana dulu engkau dan aku adalah dua manusia dengan masing-masing bukunya disaat orang lain menggenggam ponselnya.


 

    Apa kabar?bagaimana tidurmu? Bagaimana hari-harimu? Aku bertanya-tanya apa salahku. Apa gerangan yang telah membuat kita diam membisu, tak ada saling sapa, tak ada senyum atau temu, aku dan engkau hanya saling pantau dari kejauahan. 

    Bukankah di depan sebuah meja kotak malam itu kita sudah sepakat untuk tidak berubah? Bukankah ritik hujan malam itupun meyaksikan bagaimana kita sudah membuka diri satu sama lain dan kita telah menerima apa yang terjadi. Engkau dengan hidupmu, aku dengan caraku.

    Walau sejak malam itu hatiku menemukan retaknya dengan jelas, ada luka yang awalnya samar-samar akhirnya nampak. Harusnya aku menangis malam itu, nyatanya aku tertawa di depanmu. Saat kau bilang “bukankah au jahat?” aku ingin bilang “iya”. Tapi demi menguatkan sang hati yang retak aku jawab “tidak, kita hanya teman”.

    Barangkali memang aku tak pantas cemburu, tapi aku tak seberwenang itu mengatur naik turnnya perasaanku, sunngguh kukatakan itu di luar kendaliku. Aku coba mengontrol, dan hanya itu yang bisa kulakukan. Kadang aku berfikir, kisah macam apa yang sebenarnya telah terjadi diantara kita. Menghukum diriku, menjadikanku tawanan persaanku sendiri, aku harus berjuang memerdekakan rasaku.

    Kukira semua baik-baik saja. Kemarin kau mengantarku menuju pulang, menepikanku di pinggiran jalan dekat halte kecil warna-warni di depan kampus, sebuah tempat untuk aku menunggu mobil putih datang membawaku pulang. Tapi tak kusangka kau tinggalkan aku saat kubilang “kamu boleh pergi”, sungguh aku merasa egkau bukan engkau, tak seperti yang dulu. Dan sejak saat itu aku tak mengerti apa yang terjadi, kita adalah dua orang yang saling diam. Adakah sesuatu yang harus kau pastikan? Adakah yang membuatmu harus jauh dariku? Adakah aku adalah beban untukmu?

Tak bisakah kita seperti dulu saja?

Komentar