CONTOH RESENSI NOVEL DIBAWAH LINDUNGAN KA'BAH

Apa sih resensi buku itu?
Bagi seorang pengamat buku, resensi menjadi hal yang sudah biasa dilakukan dalam mempertimbangkan dan membicarakan setiap kali ada penerbitan buku terbaru.
Pada dasarnya meresensi buku ini adalah suatu kegiatan penilaian terhadap sebuah karya milik orang lain. Kata resensi sendiri berasal dari bahasa Belanda, yaitu resentie, yang memiliki arti mengulas kembali. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), resensi memiliki arti pertimbangan atau pembicaraan mengenai ulasan buku, film, atau drama.

Tujuan Resensi

Untuk kamu yang ingin meresensi buku, perlu diketahui terlebih dahulu! apa tujuan meresensi buku itu? Tujuan dari meresensi buku adalah kamu memberikan penilaian terhadap karya sebuah buku, lalu diulas menjadi bahasan singkat dan jelas.


 Langsung aja ini dia contoh resensi novel DIBAWAH LINDUNGAN KA'BAH . Buat kawan-kawan yang mungkin sedang mencari referensi untuk tugas-tugas sekolahnnya👇😊

⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓

DIBAWAH LINDUNGAN KA’BAH











Disusun Oleh:
Vita Nurhasanah
Kelas :
XII Akuntansi 1

SMK NEGERI 1 BATANGHARI
TAHUN PELAJARAN
2016/2017

KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan” Resensi Novel Dibawah Lindungan Ka’bah”  ini. Laporan ini, di susun sebagai penyelesaian tugas bahasa Indonesia penulis dan untuk mempermudah dalam pembelajaran mengenai resensi unsur-unsur intrinsik dan eksterinsik yang ada pada novel..
Dalam laporan ini, kami mengangkat sebuah novel yang berjudul “ Diawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA. Kami memilih novel ini karena isinya yang sangat menarik.
Akhir kata, semoga laporan ini dapat memberikan konstribusi yang berarti bagi pemahaman kita tentang unsur-unsur  yang ada pada novel dan menambah pengetahuan kita tentang sastra dan bahasa Indonesia. Mohon maaf bila ada kesalahan dan kekurangan dalam laporan resensi ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.








Muara Bulian,23 November 2016



                                                                                                                        Penulis





 

DAFTAR ISI










 

Identitas Buku


Judul Buku     : Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Jenis Buku      : Fiksi.
Penulis           : Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Penerbit          : PT. Bulan Bintang.

Tahun Terbit  : Jumadil Awal 1422 / Agustus 2001.
Cetakan Ke    : 25.
Tebal Buku     : 80 halaman.
Kategori          : Novel Sastra.

















Sinopsis Novel

Dikisahkan ada seorang pemuda bernama Hamid, sejak berumur empat tahun telah ditinggal mati ayahnya. Ayah Hamid sebelumnya adalah seorang yang kaya. setelah perniagaannya jatuh dan menjadi melarat,sahabat dan sanak saudara yang dulu banyak, tak ada lagi sanak saudara dan sahabatnya yang datang. Karena sudah tak terpandang lagi oleh orang-orang sekitarnya itu, maka pindahlah ayah Hamid beserta ibunya ke kota Padang, yang akhirnya dibuatnya sebuah rumah kecil. Di tempat itulah ayah Hamid meninggal.
Tatkala Hamid berumur enam tahun, untuk membantu ibunya ia minta kepada ibunya agar dibuatkan jualan kue-kue untuk dijajakan setiap pagi.
Ada tetangga baru di dekat rumah hamid terdapat sebuah gedung besar yang berpekarangan luas. Rumah itu telah kosong karena pemiliknya, seorang Belanda, telah kembali ke negerinya. Hanya penjaganya yang masih tinggal, yakni seorang laki-laki tua yang bernama Pak Paiman. Tetapi tak lama kemudian, rumah itu dibeli oleh seorang-orang kaya yang bernama Haji Jakfar. Isterinya bernama Mak Asiah dan anaknya hanya seorang perempuan saja yang bernama Zainab.
Mak Asiah senang memanggil Hamid setiap pagi  karena hendak membeli makanan yang dijualnya itu. Pada waktu itu juga ia ditanya oleh Mak Asiah tentang orang tuanya dan tempat tinggalnya. Setelah Hamid menjawab pertanyaan itu, Mak Asiah pun meminta kepada Hamid agar ibunya datang ke rumahnya. Sejak kedatangan ibu Hamid ke rumah Mak Asiah itulah, maka persahabatan mereka itu menjadi karib dan Hamid beserta ibunya sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.
Akhirnya Hamid dibiayai noleh haji Jakfar,suami mak Asiah,juga disekolahkan bersama-sama anaknya, Zainab, yang umurnya lebih muda daripada Hamid. Pergaulan Hamid dengan Zainab, seperti pergaulan antara kakak dengan adik saja. Setelah tamat dari SD, Hamid dan Zainab pun sama-sama dilanjutkan sekolahnya ke Mulo.
Setelah keduanya tamat dari Mulo, barulah Hamid berpisah dengan Zainab. Keduanya sebenarnya telah saling jatuh cinta.Namun Hamid sadar akan statusnya.Zainabpun  harus masuk pingitan,menurut adat didesa itu. sedang Hamid yang masih dibiayai oleh Haji Jakfar, meneruskan pelajaran ke sekolah agama di Padangpanjang. Di sekolah itulah Hamid mempunyai seorang teman laki-laki yang bernama Saleh.
Pada suatu petang, tatkala Hamid pergi berjalan-jalan di pesisir, bertemulah ia dengan Mak Asiah yang baru datang dari berziarah ke kubur suaminya. Ia naik perahu sewaan bersama-sama dua orang perempuan tua lainnya. 
Pada pertemuan itulah Mak Asiah mengharapkan kedatangan Hamid ke rumahnya pada keesokan harinya, karena ada suatu hal penting yang hendak dibicarakannya. Setelah Hamid datang pada keesokan harinya ke rumah Mak Asiah, maka Hamid pun dimintai tolong oleh Mak Asiah agar ia mau membujuk Zainab untuk bersedia dinikahkan dengan kemenakan Haji Jakfar yang pada waktu itu masih bersekolah di Jawa. Tetapi permintaan itu ditolak oleh Zainab dengan alasan ia belum lagi hendak menikah.
Penolakan itu sebenarnya disebabkan Zainab sendiri telah jatuh cinta kepada Hamid. Bagi Hamid sendiri, sebenarnya ia cinta kepada Zainab, hanya cintanya itu tidak dinyatakan berterus terang kepada Zainab.
Karena itulah, sebenarnya suruhan Mak Asiah itu bertentangan dengan isi hatinya. Tetapi karena ia telah berhutang budi kepada Mak Asiah, maka dilaksanakan permintaan tersebut. Setelah kejadian itu Hamid pun pulang ke rumahnya, tetapi sejak itu, ia tidak pernah lagi datang ke rumah Mak Asiah, karena sejak itu ia meninggalkan kota Padang menuju Medan dan selanjutnya pergi ke tanah Suci Mekah. Dari Medan Hamid berkirim surat kepada Zainab untuk minta diri pergi menurutkan kemana arah kakinya berjalan. Surat Hamid itulah yang selalu mendampingi Zainab yang dalam kesepian itu.
Sementara itu dikota suci mekah,Hamid bertemu dengan Saleh,temannya dahulu. Hamid menceritakan segala perasaannya pada Zainab kepada Saleh.cinta mereka tidak bisa disatukan karena  ibu Hamid sendiri melarang Hamid untuk mencintai Zainab,karena ibu Hamid merasa tidak pantas.sementara Ternyata Saleh adalah suami dari Rosna,Rosna sendiri adalah sahabat Zainab. Rosna dan saleh saling bercerita,berkirim surat tentang kisah Hamid dan Zainab.Zainab yang sedih berlebihan,karena cinta yang tidak bisa bersatu dengan Hamid,akhirnya menjadi sakit hingga akhirnya meninggal.
Karena terlalu cintanya Hamid pada Zainab, terlebih mendengar Zainab yang meninggal dunia, Hamid pun tak kuasa menahan sedih.Selalu memikirkan Zainab, hingga akhirnya Hamid jatuh sakit dan meninggal dibawah lindungan ka'bah. 


 

BAB I

PENDAHULUAN

Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula semua sastra adalah religius (Mangun Wijaya, 1982:11). Istilah “religius“ membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Novel Dibawah Lindungan Ka’bah karangan Hamka, merupakan karya fiksi Indonesia modern yang memasukkan unsur keagamaan (Islam) dalam sastra. Agama di sana adalah agama sebagai keyakinan para tokoh cerita, bukan keyakinan (syariat) agama yang dipermasalahkan.
Dalam kehidupan nyata para penikmat sastra masih banyak yang tingkat aparesiasinya masih rendah. Mereka kadang kala sulit menafsirkan apa yang di bacanya, karena di dalam karya sastra banyak sekali kata-kata yang bersifat simbol. Sehingga apa yang disampaikan penulis kadang kala tidak sampai pada pembaca.
Melalui pembuatan resensi dan analisa unsur intrinsi dan ekstrinsik dapat meningkatkan pemahaman kepada suatu karya sasstra.
1.      Resensi novel
2.      Unsur Intrinsik
3.      Unsur Ekstrinsik

1.      Menyelesaikan tugas mata pelajaran Bahasa Indonsia pada materi resensi novel.
2.      Memberikan pengetahuan tentang unsur intrinsik Novel Dibawah Lindungan Ka’bah.
3.      Memberikan pengetahuan tentang unsur intrinsik Novel Dibawah Lindungan Ka’bah



BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Resensi Novel

Resensi

Buku ini berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah yang di karang oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau sering dikenal dengan nama HAMKA  yang merupakan singkatan dari namanya,beliau lahir di kampung Molek, Meninjau tahun 1908. Beliau seorang ulama,aktivis dan sasatrawan Indonesia.Beliau dijuluki Buya oleh para sastrawan.Buya adalah panggilan untuk orang Minangkabau, kata Buya berasal dari bahasa Arab yaitu Abi yang artinya ayah.
Beliau adalah anak dari syekh Abdul Karim bin Amrullah,yang merupakan pelopor gerakan islam di Minangkabau.Hamka pernah bekerja menjadi seorang guru di Perkebunan Kebun Tinggi dan di Padang Panjang,beliau juga menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhamadiah, Padang Panjang,beliau menjabat Pegawai Tinggi Agama,beliau juga sebagai wartawan, penulis editor dan penerbit.Beliau wafat pada tanggal 24 Juli 1981.
Buku ini dari sisi agama bagus dan kental akan keagamaanya meskipun bercerita mengenai percintaan, berbeda dengan novel jaman sekarang ini, sisi keagamaannya kurang di tonjolkan dan lebih mengedepankan tentang percintaannya.
 Dari sisi budaya Hamka mampu mengangkat adat dari daerah Minangkabau dimana seorang perempuan apabila telah lulus dari sekolah rendah (sekarang sederajat dengan SMP) tidak boleh kemana-mana harus di pingit di rumah sebelum dia menikah apabila dia mau keluar rumah dia  harus di temani keluarganya atau kepercayaannya.
Dari sisi sosial atau hubungan dengan orang lain sangat bagus karena dapat memberitahukan bahwa kita harus bersikap dermawan dan dapat peduli kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan kita meskipun itu dari kalangan bawah.
Sosok Hamka sangat religius itu terlihat dari buku-buku yang di karangnya seperti dalam buku ini bercerita tentang percintaan namun tidak ada unsur  negatifnya ,banyak unsur agamisnya, bukan dari buku ini saja namun dari buku-buku yang beliau karang seperti Tenggelmnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli dan lain lain.
Buku ini diterbitkan oleh PT.Bulan Bintang yang bertempat di Jalan Kramat Kwitang ,No.8  Jakarta 10420,Indonesia.
Tema dalam buku ini mengenai percintaan,meskipun percintaan buku ini sarat akan keagamaan.Kisah cinta disini mencerikatan dua orang yang memiliki perasaan sama antara satu sama lain namun mereka tidak sempat bersama karena ajal telah memisahkan mereka.
Alur yang digunakan adalah alur campuran yakni dimulai dari Hamid yang berada di Tanah Suci kemudian dia menceritakan mengenai masa lalunya dan menceritakan kembali masa-masa Hamid di Tanah Suci.
Tokoh utama yang berada di certa ini adalah Hamid dan Zainab.Hamid memiliki sifat yang baik, sabar, tawakal, agamis, menyayangi dan menghormati orangtua. Zainab memiliki sifat yang  baik, pendiam, sabar, patuh dan menghormati orangtua.Tokoh yng lainnya yaitu  Engku Haji Ja’far dan Mak Asiah yang memiliki sifat dermawan.Ibu Hamid yang memiliki sifat penyayang,  peduli pada buah hati.Saleh dan Rosna yang memiliki sifat sangat peduli kepada sahabat atau setia kawan.
Latar dalam cerita ini di Tanah Suci, Padang, Medan, pantai dan rumah.Setting pada siang dan malam.Suasana dalam cerita ini sedih.Sudut pandang dalam cerita ini adalah sudut pandang campuran karena terdapatn kata saya dan nama orang. Nilai yang terkandung dalam cerita ini diantaranya nilai moral, nilai agama dan nilai sosial
Gaya penulisan yang digunakan pengarang adalah menggunakan bahasa Melayu dan menggunakan bahasa arab, sehingga sedikit menyulitkan pembaca dalam memahami maknanya. Walaupun demikian cerita ini sangat menarik untuk di baca.
Selain itu terdapat beberapa majas, salah satunya adalah majas pesonifikasi seperti, “surat itu bisu”, Repertisi seperti, “entah di darat, entah di laut, entah sengsara kehausan”.
Amanat yang dapat kita ambil yaitu kita harus berani mengungkapkan perasaan kita kepada orang yang kita cintai, jangan kita sesali akan perbuatan kita yang tidak peka terhadap keadaan

Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan
Novel ini mempunyai alur yang dapat membawa pembaca merasakan apa yang dirasakan Hamid dan Zainab, bagus dan kental akan keagamaanya meskipun bercerita mengenai percintaan,memberikan banyak pesan  religius salah satunya dapat memberitahukan bahwa kita harus bersikap dermawan dan dapat peduli kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan kita meskipun itu dari kalangan bawah.
Kekurangan
                              Kekurangan dari Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah : Terletak pada bahasa yang digunakan. Karena bahasa yang digunakan yaitu antara bahasa minang-indonesia dan bahasa melayu.

1.       Tema
Kasih tak sampai
“Mustahil dia akan dapat menerima cinta saya, karena dia langit dan saya ini bumi, bangsanya tinggi, dan saya hidup darinya tempat buat lekat hati Zainab. Jika kelak datang waktunya orang tua bermenantu, mustahil pula saya akan termasuk dalam golongan orang yang terpilih untuk menjadi menantu Engku Haji Ja'far. Karena tidak ada yang akan diharapkan dari saya. Tetapi Tuan... kemustahilan itulah yang kerap kali memupuk cinta.”
Sebelum mereka bertemu dalam ikatan yang sah atau menikah keduanya telah dipanggil oleh Allah SWT.
Dibibirnya terbayang suatu senyuman dan...sampailah waktunya. Lepas ia dari tanggapan dunia yang mahaberat ini., dengan keizinana Tuhannya. Di bawah lindungan ka'bah!”
2.       Alur/Plot
a.       Pengenalan
“Ketika menginjakan kaki di tanah suci, aku menumpang di rumah seorang syekh yang pekerjaan dan pencahariaannya dari memberi tumpangan bagi orang haji. Di tempat tumpangan itu si Aku bertemu dengan seorang pemuda yang berusia kira-kira 23 tahun. Pemuda itu menurut syekh berasal dari Sumatra. Dalam beberapa hari si Aku dapat berkenalan dengannya.”
b.      Pengugkapan Masalah
Saya berasa sebagai seorang yang kehilangan, padahal jika saya periksa penaruhan saya, pasti meja tulis, kain dan baju, semuanya cukup. Tetapi badan saya ringan, seakan-akan ada suatu kecukupan yang telah kurang.”
c.       Tahap  Menuju Konflik
Setelah beberapa lama kemudian, dengan tidak disangka-sangka satu musibah besar telah menimpa kami berturut-turut. Pertama ialah kematian yang sekonyong-konyong dari Engku Haji Ja'far yang dermawan itu...Kematiannya membawa perubahan, yang bukan sedikit kepada perhubungan dengan rumah tangga Zainab. Belum beberapa lama setelah budiman itu menutup mata, datang pula musibah baru kepada diri saya. Ibu saya yang tercinta, yang telah membawa saya menyebrangi hidup bertahun-tahun telah ditimpa sakit, sakit yang selama ini telah melemahkan badannya, yaitu penyakit dada.”
d.      Klimaks
“...Dapatkah engkau menolong mamak, melunakan hatinya dan membujuk dia supaya mau? Hamid! … Mamak percaya kepadamu sepenuh-penuhnya,sebagai mendiang bapakmu percaya kepada engkau!”
e.       Penyelesaian
“Begitupun dengan Zainab kini ia telah mengetahui keberadaan Hamid, seseorang yang ia nantikan selama bertahun-tahun. Karena Saleh pula cinta keduanya jadi terbuka, Hamid dan Zainab kini sama-sama telah mengetahui perasaan masing-masing, yang ternyata cinta mereka tidak bertepuk sebelah tangan. Tetapi sebelum keduanya bertemu di tanah air, Tuhan telah berkehendak lain. Zainab dipanggil-Nya, disusul pula oleh Hamid yang juga di paggil-Nya.”

3.       Sudut Pandang
Dalam menulis novel ini, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Sudut pandang dalam cerita ini adalah sudut pandang campuran karena terdapatn kata saya dan nama orang.
“Belakangan Hamid lebih banyak duduk termenung dan berdiam seorang diri, seakan-akan "Saya" dianggap tidak ada dan idak diperdulikannya lagi. “

4.       Tokoh dan Penokohan
a.       Hamid :
1)      Tabah,sabar, tegar, pendiam,  dan suka bermenung seorang diri.
“Seorang anak muda yang baru berusia kira-kira 23 tahun, ……………, sifatnya pendiam, suka bermenung seorang diri...
2)      Seorang pemuda yang shaleh menjalankan ibadah, sopan, berbudi pekerti yang baik dan mulia. Hidupnya amat sederhana, tidak lupa beribadat, tidak suka membuang-buang waktu kepada sesuatu yang tidak bermanfaat, dan dia juga suka membaca buku-buku agama
Biasanya sebelum kedengaran azan subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke masjid seorang dirinya, ….dan sifatnya yang saleh., …saya telah beroleh seorang sahabat yang mulia dan patut dicontoh hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama”
3)        Suka bekerja keras, berbakti kepada orang tua, serta tabah menghadapi cobaan.
“Masa saya masih berusia empat tahun, ayah saya telah wafat.… saya hanya duduk dalam rumah di dekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong., Sehingga akhirnya saya telah menjadi menjadi seorang anak penjual kue yang terkenal.…, …, dengan tidak disangka-sangka satu musibah besar telah menimpa kami berturut-turut.pertama ialah kematian yang sekonyong-konyong  dari Engku Haji Ja’far yang dermawan itu., ibu saya yang tercinta, yang telah membawa saya menyeberangi hidup bertahun-tahun telah ditimpa sakit,…, …,sedang saya duduk menjaga dengan diam dan sabar.,  sekarang saya sudah tinggal sebatang kara dalam dunia ini.
4)      Seorang pemuda yang berpendidikan, dan  pintar dalam  ilmu agama
Sekolah-sekolah agama yang disitu mudah sekali saya masuki,…seorang guru memberi pikiran, menyuruh saya mempelajari agama di luar sekolah saja sebab kepandaian saya lebih tinggi dalam hal ilmu umum daripada kawan  yang lain.
b.      Zainab           
1)      Seorang gadis anak dari Haji Ja’far yang berhati mulia dan taat kepada orang tuanya.
“Anak perempuan itu masih kecil, sebaya dengan saya. Apa perintah ibunya diikutinya dengan patuh rupanya ia amat disayangi karena anaknya hanya seorang itu.”
2)      Mudah bergaul, baik, pendiam, tidak sombong, dan rendah hati
“Umur saya lebih tua daripada Zainab. Meskipun saya hanya anak yang beroleh tolongan dari ayahnya, sekali-kali tidaklah Zainab memandang saya sebagai orang lain lagi, tidak pula pernah mengangkat diri, agaknya karena kebaikan didikan ayah bundanya. Cuma di sekolah, anak-anak orang kaya kerap kali menggelakkan saya, anak berjual goring pisang telah bersekolah sama-sama dengan anak orang hartawan.”
c.         Saleh
1)      Sahabat Hamid yang berbudi luhur, taat beragama, baik, mempunyai tutur kata yang sopan, amanah,  jujur, dan  setia kawan.
”Tenangkanlah hatimu, Sahabat!” kata Saleh.  “Kehendak Allah telah berlaku. Ia telah memanggil orang yang dicintai-Nya ke hadirat-Nya.”
2)      Seorang yang berpendidikan dan kaya
“Saleh adalah seorang teman saya semasa kami masih sama-sama bersekolah agama di Padang Panjang. Oleh karena sekolahnya di Padang telah tamat, dia hendak meneruskan pelajarannya ke Mesir, ia singgah ke Mekah ini untuk mencukupkan rukun.
d.      Rosna
1)      seorang wanita  istri dari Saleh yang setia dan teguh hati.
“Dia menceritakan kepadaku, bahwa dia telah beristri dn istrinya telah sudi melepaskan dia berlayar sejauh itu, padahal mereka baru kawin. Dipujinya istrinya sebagai seorang yang setia dan teguh hati melepas suaminya berjalan jauh karena untuk menambah pengetahuannya.”
e.       Ibu Hamid
1)      Setia
“ada juga dua tiga orang dari kalangan saudagarsaudagar atau orang-orang berpangkat yang memintanya menjadi isteri, tetapi semuanya telah ditolaknya dengan perasaan yang sangat terharu. Hatinya belum lupa kepada almarhum ayah, semangatnya boleh dikatakan telah mengikutinya ke kuburan.”
2)      Penuh kasih sayang.
“Di waktu teman-teman bersukaria bersenda gurau, melepaskan hati yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam rumah didekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong. Kadang-kadang ada juga disuruhnya saya bermain-main, tetapi hati saya tiada dapat gembira sebagai teman-teman itu, karena kegembiraan bukanlah saduran dari luar, tetapi terbawa oleh sebab-sebab yang boleh mendatangkan gembira itu.
3)      Tak mudah putus asa,penyabar
“Tetapi ibu kelihatan tidak putus harapan, ia berjanji akan berusaha, supaya kelak saya menduduki bangku sekolah, membayarkan cita-cita almarhum suamiya yang sangat besar angan-angannya, supaya kelak saya menjadi orang yang terpakai dalam pergaulan hidup.”
4)      Pemarah
“Mula-mula ibu seakan-akan hendak menampik, dia agak marah kepada saya, kalau-kalau saya telah bercepat mulut menerangkan untung perasaian kami kepada orang lain.”
f.         Haji Ja’far
1)      Pekerja keras
“Konon khabarnya, kekayaan yang di dapatnya itu adalah daripada usahanya sendiri dan titik peluhnya, bukan waris daripada orang tuanya.”
2)      Suka tolong menolong, rendah hati, tidak sombong, pandai bergaul, berbudi yang baik dan ramah.
“Saya akan disekolahkan dengan belanja Engku Haji Ja’far sendiri bersama-sama anaknya., …melanjutkan cita-cita ibu saya karena kedermawanan Engku Haji Ja’far juga., ia seorang yang sangat dicintai oleh penduduk negeri, karena ketinggian budinya dan kepandaiannya dalam pergaulan, tidak ada satu pun perbuatan umum di sana yang tak dicampuri oleh Engku Haji Ja’far. …seorang hartawan yang amat peramah kepada fakir dan miskin
3)       Baik hati dan dermawan.
“Belajarlah sungguh-sungguh, Hamid, mudah-mudahan engkau lekas pintar dalam perkara agama dan dapat hendaknya saya menolong engkau sampai tamat pelajaranmu...”
g.       Mak Asiah
1)      Peramah  dan penyanyang
“Perempuan itu memakan sirih, mukanya jernih, peramah dan penyayang…..
2)      Dermawan, rendah hati, dan memiliki rasa belas kasihan
“Segala perasaian dan penanggungan  ibu didengarnya dengan tenang dan muka rawan, kadang-kadang ia pun turut menangis waktu ibu menceritakan hal-hal yang sedih-sedih. Sehingga waktu cerita itu habis, terjadilah diantara keduanya persahabatan yang kental, harga-menghargai dan cinta mencintaI”
h.       Badui
1)      Baik, patuh perintah dan pekerja keras.
“Tiada berapa saat kemudian datanglah Badui tersebut dengan temannya membawa tandu yang kami pesan. Hamid pun dipindahkanlah ke dalam dan diangkat dengan segera menuju Masjidil Haram”
“Setelah nyata wafatnya, maka dengan tidak menunggu lama, kedua Badui itu memikul mayat itu ke rumah syekh kami. Dan mereka berdua jugalah yang mengurus dan memikulnya sampai ke kubur. “
i.        Pak Paiman
1)      Baik hati, suka memberi, dan rajin.
Selama itu kerap kali kami datang ke situ meminta buah rambutan dan saoh (sawo) kepada Pak Paiman,…, Pak Paiman yang telah menjadi jongos untuk memelihara perkarangan itu, belum pernah dapat suara yang keras darinya.
j.        Aku
1)      Hidupnya lebih dari cukup
“Alangkah besar hati saya ketika melihat Ka’bah…”, ”saya injak Tanah Suci dengan persangkaan yang biak.”,…” tentu saja selain saya sendiri, orang-orang yang datang ke sana itu adalah orang-orang yang gembira dan mampu.”
2)      Pintar bergaul, an menghormati orang lain
 “Melihat kebiasaannya demikian dan sifatnya yang saleh, saya menaruh hormat yang besar atas dirinya dan saya ingin hendak berkenalan.”
3)      Peduli dan perhatian terhadap penderitaan orang lain
 “…kesedihannya itu telah berpindah ke dada saya, meskipun saya tak tahu apa yang disedihkannya.”, “…saya beranikan hati mendekatkan diri kepadanya. Maksud saya kalau dapat hendak membagi kedukaan hatinya.”, “…saya akan menolong engkau sekedar tenaga yang ada pada saya. Karena meskipun kita belum lama bergaul, saya tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan engkau kepada diri saya.”
5.       Setting/latar
a.       Latar Tempat
1)      Pelabuhan Jeddah
“Pada hari kelima belas sampailah saya dipelabuhan Jeddah, pantai Laut Merah itu”
2)      Rumah Syeikh
“Saya menumpang di rumah seorang syeikh yang pekerjaan dan pencariannya semata-mata daripada memberi tumpangan bagi orangorang haji”
3)       Di Mekkah
Menurut keterangan syekh kami, anak muda itu berasal dari Sumatera, datang pada tahun yang lalu, jadi adalah dia seorang yang telah mukim di Mekah.
4)      Di atas satah
“Terkadang-kadang kelihatan ia termenung seorang diri di atas satah”
5)      Di Rumah Hamid
“Saya hanya duduk dalam rumah didekat ibu”
6)       Di Halaman Rumah  Haji Jafar
“Setelah saya akan meninggalkan halaman rumah itu.”
7)      Beranda belakang
” Waktu itu ibuku dan ibunya sedang duduk di beranda belakang”
8)      Di Puncak Gunung Padang
Waktu orang berlimau, sehari orang akan berpuasa, kami dibawa ke atas puncak Gunung Padang.”
9)      Padang
Sehari orang akan puasa, kami dibawa ke atas Gunung Padang, karena di sanalah ayahku berkubur dan beberapa famili ibu Zainab.
10)  Padang Panjang
“Sejak mula saya pindah ke Padang Panjang, senantiasa saya merasa kesepian.
11)   Pesisir Arau
“Di waktu saya sedang berjalan-jalan seorang diri di Pesisir Arau yang indah itu”
12)  Medan, Singapura, Bangkok, Tanah-tanah Hindustan, Karachi, Basrah, Irak, Sahara Nejd
Tiada lama saya di Medan, saya menuju Singapura, mengembara ke Bangkok, berlayar terus memasuki tanah-tanah Hindustan, dan dari karachi berlayar menuju ke Basrah, masuk Irak, melalui Sahara Nejd dan akhirnya sampailah saya ke Tanah Suci ini.
13)  Masjidil Haram
“Setiap malam saya duduk beri`tikaf di dalam Masjidil Haram”
14)   Di Madinah
“Sepuluh hari sebelum orang-orang berangkat ke Arafah mengerjakan wukuf, jemaah-jemaah telah kembali dari ziarah besar ke Madinah.”
15)  Arafah
“Di `Arafah sangat benar panasnya, sehingga ketika berhenti di tempat itu sehari lamanya”
16)  Mina, Muzdalifah
“Setelah matahari terbenam kami kembali menuju ke Mina, berhenti sebentar di Muzdalifah memilih batu untuk melempar " Jumrah" di Mina itu kelak.”
17)  Pekuburan Ma'ala
Sehari sebelum kami meninggalkan Mekkah, pergilah kami berziarah ke kuburan Ma'ala, tempat Hamid di kuburkan.”
b.      Latar Waktu
1)      Tahun 1927
Konon kabarnya, belumlah pernah orang naik haji seramai tahun 1927 itu, baik sebelum itu ataupun sesudahnya.”
2)      Bulan Ramadan, Bulan Syawal
“Baharu dua bulan saja, semenjak awal Ramadan sampai syawal... “
3)        Malam
“Pada suatu malam, sedang ia duduk seorang dirinya... “
 Di waktu malam, ketika akan tidur, kerap kali Ibu menceritakan kebaikan Ayah... “
4)      Pagi                              
“Tiap-tiap pagi saya selalu di hadapan rumah itu... “
“Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu...”
“Besok paginya, saya tidak menjunjung nyiru tempat kue lagi...”
5)       Hari Minggu
“Hari Minggu kami diizinkan pergi ke tepi laut.....”
6)      Patang
“Pada petangnya takut-takut cemas pergilah dia ke rumah besar itu.  
7)      Sore
“…Kadang-kadang di waktu sore kami duduk di beranda muka...”
8)      Pukul empat petang
“Kira-kira pukul empat petang, jemaah-jemaah telah berangkat berduyun-duyun menuju ke `Arafah”
9)      Bulan Zulhijjah
Pada hari kedelapan bulan Zulhijjah, datang perintah dari syekh kami...”
c.       Latar Suasana
1)      Bahagia        
“Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu saya dengan perasaan yang sangat gembira, membawa kabar suka yang sangat membesarkan hatinya, yaitu besok Zainab akan diantarkan ke sekolah dan saya dibawa serta. Saya akan disekolahkan dengan belanja Engku Haji Ja'far sendiri bersama-sama anaknya. Mendengar perkataan itu, terlompatlah air mata ibuku karena suka cita, kejadian yang selama ini sangat diharap-harapkannya.”
“Bilamana pakansi puasa telah datang, gembiralah hati saya, karena akan dapat saya menghadap ibu saya, memaparkan dihadapannya, bahwa dia sudah patut gembira, karena anaknya ada harapan akan menjadi orang alim. “
“...Ibu saya titik air matanya karena kegirangan, Engku Haji Ja'far tersenyum mendengar saya mengucapkan terima kasih. Mak Asiah memuji saya sebagai anak yang berbudi. “
2)      Duka
” Ia melihat kepada saya dengan tenang, alamat berpisah yang akhir. Dari mulutnya keluar kalimah suci, bersamaan dengan kepergian nyawanya ke dalam alam yang baqa', yang di sana tempat manusia lepas daripada segala penyakit. 
3)      Bingung
“Setelah itu saya menjadi bingung, tidak tentu lagi apa yang akan saya terangkan kepadanya.”
4)      Sedih
“...air matanya titik amat derasnya membasahi sorban yang membalut dadanya...”
“Yang berasa sedih amat, adalah anak-anak perempuan yang akan masuk pingitan; tamat sekolah bagi mereka artinya suatu sangkar yang telah tersedia buat seekor burung yang bebas terbang..”
“Tidak mak, cuma kematian yang bertimpa-timpa itu agak mendukakan hatiku, itulah sebabnya saya kurang keluar dari rumah.”
“...air matanya kelihatan menggelenggang, mengalir, setitik dua titik kepipinya... “
“Air mata Zainab kembali jatuh... “
“Melihat itu kepalanya tertekun ia menarik nafas panjang, dari pipinya meleleh dua titik air mata yang panas.”
5)      Hening
Beberapa minit lamanya tenang saja dalam ruangan itu tak seorang jua pun di antara kami yang berkata; ibunya seakan-akan menunggu supaya perkataan itu lekas dimulai, Zainab kelihatan malu tak mahu melihat muka saya, sedang saya masih termenung memikirkan dari manakah percakapan itu akan saya mulai.  
6)      Penuh pengharapan
“dan jika abang terlambat pulang, agaknya bekas tanah penggalian, bekas air penalkin dan jejak mijan yang dua, hanya yang akan abang dapati.”
7)      Terpukul
“Muka Salleh menjadi pucat,jantung saya berdebar-debar membaca isinya yang tiada sangka-sangka, Zainab telah meninggal, surat menyusul, Rosnah.  
8)      Risau
“Demamnya yang dibawa dari Mekah bertambah menjadi-jadi, lebih-lebih setelah mendapat hawa yang panas di `Arafah itu. Di sana banyak orang yang mati kerana kepanasan. Hamid tak mahu lagi makan, badannya sangat lelah, sehingga seketika berangkat ke Mina ia tiada sedarkan dirinya, demi melihat hal itu, jantung saya berdebardebar”
9)      Gugup
“Mendengar itu ia bertambah menekur, tak berani ia mengangkat muka lagi, dan saya pun gugup hendak menambah perkataan, memang bodoh saya ini, dan pengecut! “ 
f.       Gaya Bahasa
Dalam novel  Dibawah Lindunga Ka’bah karya Hamka menggunakan  bahasa melayu yang baku yang sederhana tetapi berjiwa.
" Ah, anakku, pandai benar engkau mewartakan nasibmu kepada ibumu! Mengapa engkau segila itu benar, pada hal agaknya engkau belum mengetahui bagaimana pula perasaan Zainab kepada dirimu?"
Didalam novel ini juga menggunakan banyak majas,yaitu:
1)      Asosiasi
“…Bukit-bukit yang gundul itu tegak dengan teguhnya laksana pengawal yang menyaksikan dan menjagai orang haji yang berangsur pulang ke kampungnya masing-masing.”
2)      Hiperbola
“...terlompatlah air mata ibuku karena suka cita.”
“ ...dan kadang-kadang memberi melarat kepada jiwamu. “
“ ...saya karam dalam permenungan... “
“...air matanya kelihatan menggelenggang...”
“...saya patahkan hati anaknya yang hanya satu...”
“...saya telah karam di dalam khayal....”
“...dia telah meninggalkan saya dengan gelombang angan-angan... “
“Dan kapalku memecahkan ombak dan gelombang menuju Tanah air yang tercinta.”
4)      Antitetis
“...kita akan bertemu dengan yang tinggi dan yang rendah, kita akan bertemu dengan kekayaan dan kemiskinan, kesukaan dan kedukaan, tertawa dan ratap tangis.”
“...di antara kaya dan miskin, mulia dan papa... “
“ ...tidak memperbeda-bedakan di antara raja-raja dengan orang minta-minta, tidak menyisihkan orang kaya dengan orang miskin, orang hina dengan orang mulia...”
5)      Personifikasi
“ ...tiba-tiba datang ombak yang agak besar, dihapuskannya unggunan yang kami dirikan itu...”
“ ...dicelah-celah ombak yang memecah ke atas pasir...”
“ ...memperhatikan pergulatan ombak dan gelombang...”
6)       Repetisi
“Masa itu sedang rimbun, bunga sedang kembang dan buah sedang lebat”
“Engkau tentu memikirkan juga, bahwa emas tak setara dengan loyang, sutra tak sebangsa dengan benang.“
7)       Klimaks
“Senantiasa saya hitung pertukaran hari ke bulan dan dari bulan ke tahun.”
“Mereka itu mendakwakan bersaudara, berkarib, berfamili.”
8)      Metafora
“Singgalang yang senantiasa diliputi kabut...”
9)      Pleonasme
“Badannya kurus lampai”

g.       Amanat
1)      Amanat Tersirat
a.       Jangan pernah berputus asa, karena setiap masalah  pasti akan  ada jalan keluarnya.
b.      Teruslah berusaha dan berdoa agar semua yang diinginkan akan tercapa, karena Allah SWT pasti akan mendengar doa dari hambanya.
c.       Kita harus berani mengungkapkan perasaan kita kepada orang yang kita cintai, jangan kita sesali akan perbuatan kita yang tidak peka terhadap keadaan.
d.      Kita harus harus berbicara yang sopan walaupun kepada orang yang usianya lebih muda dan selalu tolong-menolong kepada sesama.
e.       Segala sesuatu  membutuhkan pengorbanan. Kita sebagai manusia boleh berencana, berharap dan berusaha semaksimal mungkin, namun Allah jugalah yang menentukan semua itu.
f.       Dalam menghadapi suatu masalah harus lebih bijak dan memahami perasaan orang lain, serta harus bersabar dan dapat menerima kenyataan walau menyakitkan.
2)      Amanat Tersurat
a.       Kita harus memupuk dan mempertahankan cinta dengan jalan lurus, artinya harus dengan jalan ridho Ilahi.
b.      Jangan menumbuhkan perasaan jika akhirnya akan membawa duka,bahwa emas tak setara dengan loyang, sutra tak sebangsa dengan benang.”
c.        Belajarlah dengan sungguh-sungguh



1.      Biografi Penulis
HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir di Molek, Meninjau, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908. Ayah beliau bernama Syeh Abdul Karim bin Amrullah (Haji Rasul).
Pada tahun 1928 Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang. Tahun 1929 beliau membangun “Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah” dua tahun kemudian menjadi ketua Muhammadiyah di Sumatra Barat dan Pada 26 juli 1957 beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia.
Riwayat Pendidikan HAMKA
HAMKA  bersekolah dasar di Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan  masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sultan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman Yogyakarta.
Riwayat Karier HAMKA
HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957-1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan  memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai ketua Umum  Maljlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian  meletakkan jabatannya itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Aktivitas Sastra HAMKA
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah pedoman Msyarkat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada tahun 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai Negara daratan Arab. HAMKA menulis beberapa novel. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan novel-novel di atas, ia telah membuat novel yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau  ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan novel yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera Malaysia dan Singapura. Setelah HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
Wafatnya HAMKA
Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah, jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Penghargaan
Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguni dari pemerintah Indonesia.
Pandangan HAMKA Tentang Kesastrawan
Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indono tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
Buah Pena Buya HAMKA
Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA tersebut dimulainya tahun 1960.

2.      Latar Belakangg Penulisan
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah Muslim asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah. Setelah melakukan perjalanan ke Jawa dan Mekkah sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu, ia mulai bekerja sebagai guru agama di Deli, Sumatera Utara, lalu di Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam perjalanan itu, terutama saat di Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir Mustafa Lutfi al-Manfaluti hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk kembali ke Medan. Di Medan, Hamka mulai menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah ketika menjadi editor untuk majalah Islam mingguan Pedoman Masjarakat, yang dalam majalah tersebut untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan.
3.      Nilai yang ada dalam masyarakat
1)      Nilai Sosial
...kemiskinan telah menjadikan ibu putus harapan memandang kehidupan dan pergaulan dunia ini, karena tali tempat bergantung sudah putus dan tanah tempat berpijak sudah terban...”
2)      Nilai Agama
“ Ibu pun menunjukkan kepadaku beberapa do’a dan bacaan, yang menjadi wirid dari almarhum Ayah semasa mendiang hidup, mengharapkan pengharapan yang besar-besar kepada Tuhan serwa sekalian alam memohon belas kasihannya ”.
3)        Nilai Pendidikan
“Sekolah-sekolah Agama yang di situ mudah sekali saya masuki, karena lebih dahulu saya mempelajari ilmu umum, saya hanya tinggal memperdalam pengertian dalam perkara agama saja, sehingga akhirnya salah seorang guru menyarankan saya mempelajari agama di luar sekolah , sebab kepandaian saya dalam ilmu umum”.
4)       Nilai Moral
“ …maka pada dirinya saya dapati beberapa sifat yang tinggi dan terpuji, yang agaknya tidak terdapat pada pemuda-pamuda yang lain baik dari kalangan kaya dan bangsawan sekalipun. Sampai pada saat yang paling akhir daripada kehidupan ayahku, belum pernah ia menunjukkan Perangai yang tercela. Wahai Ros saya tertarik benar kepadanya”

BAB III

PENUTUP


Resensi sebuah novel sebagai bentuk tanggapan pembacanya terhadap karya sasrta.Dalam pembuatan resens harus memperhatikan  tema, alur/plot, setting/latar, sudut pandang, karakter, gaya bahasa, dan amanat, di mana hubungan antar unsur dalam novel ini menunjukkan hubungan yang begitu padu sehinggga menghasilkan jalinan cerita yang sangat menarik yang disebut dengan unsur intrinsik pada sebuah karya sastra.Selain unsur intrinsik resensi juga harus memperhatikan unsur ekstrinsik yang ada pada novel.
Ada banyak pelajaran yang dapat dambil dari novel Dibawah Lindungan Ka’bah karya Hamka,terutama nilai religius yang sangat melekat didalam novel itu.Unsur religiusitas roman Dibawah Lindungan Ka’bah karya Hamka mengandung aspek aqidah, syariah, dan akhlak yang tergambar dalam setiap perilaku tokoh yang dimainkan, di samping itu pengarang sendiri sebagai seorang agamawan yang begitu kental memasukkan unsur–unsur agama ke dalam roman ini.

Marilah kita senantiasa buntuk membaca dan menelaah apa yang ada disekitar kita untuk mempertajam fikiran dalam rangka terbentuknya insal kamil, salah satu caranya adalah dengan menelaah karya sastra yang sarat akan nilai kemanusiaan dan kehidupan sebagai masalah humanitas.



 

Komentar