Apa sih resensi buku itu?
Bagi seorang pengamat buku, resensi menjadi
hal yang sudah biasa dilakukan dalam mempertimbangkan dan membicarakan
setiap kali ada penerbitan buku terbaru.
Pada dasarnya meresensi buku ini adalah suatu kegiatan penilaian
terhadap sebuah karya milik orang lain. Kata resensi sendiri berasal
dari bahasa Belanda, yaitu resentie, yang memiliki arti mengulas
kembali. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), resensi memiliki
arti pertimbangan atau pembicaraan mengenai ulasan buku, film, atau
drama.
Tujuan Resensi
Untuk kamu yang ingin meresensi buku, perlu diketahui terlebih
dahulu! apa tujuan meresensi buku itu? Tujuan dari meresensi buku adalah
kamu memberikan penilaian terhadap karya sebuah buku, lalu diulas
menjadi bahasan singkat dan jelas.
Langsung aja ini dia contoh resensi novel DIBAWAH LINDUNGAN KA'BAH . Buat kawan-kawan yang mungkin sedang mencari referensi untuk tugas-tugas sekolahnnya👇😊
⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓⇓
DIBAWAH LINDUNGAN KA’BAH
Disusun
Oleh:
Vita Nurhasanah
Kelas
:
XII
Akuntansi 1
SMK NEGERI 1 BATANGHARI
TAHUN PELAJARAN
2016/2017
KATA PENGANTAR
Segala puji dan
syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan” Resensi Novel Dibawah
Lindungan Ka’bah” ini. Laporan ini, di
susun sebagai penyelesaian tugas bahasa Indonesia penulis dan untuk mempermudah
dalam pembelajaran mengenai resensi unsur-unsur intrinsik dan eksterinsik yang
ada pada novel..
Dalam laporan ini,
kami mengangkat sebuah novel yang berjudul “ Diawah Lindungan Ka’bah” karya
HAMKA. Kami memilih novel ini karena isinya yang sangat menarik.
Akhir kata, semoga
laporan ini dapat memberikan konstribusi yang berarti bagi pemahaman kita
tentang unsur-unsur yang ada pada novel
dan menambah pengetahuan kita tentang sastra dan bahasa Indonesia. Mohon maaf
bila ada kesalahan dan kekurangan dalam laporan resensi ini, semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Muara Bulian,23
November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Identitas Buku
Judul Buku
: Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Jenis Buku : Fiksi.
Penulis : Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Penerbit : PT. Bulan Bintang.
Tahun Terbit : Jumadil Awal 1422 / Agustus 2001.
Cetakan Ke : 25.
Tebal Buku : 80 halaman.
Kategori : Novel Sastra.
Jenis Buku : Fiksi.
Penulis : Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Penerbit : PT. Bulan Bintang.
Tahun Terbit : Jumadil Awal 1422 / Agustus 2001.
Cetakan Ke : 25.
Tebal Buku : 80 halaman.
Kategori : Novel Sastra.
Sinopsis Novel
Dikisahkan ada seorang pemuda bernama Hamid, sejak
berumur empat tahun telah ditinggal mati ayahnya. Ayah Hamid sebelumnya adalah
seorang yang kaya. setelah perniagaannya jatuh dan menjadi melarat,sahabat dan
sanak saudara yang dulu banyak, tak ada lagi sanak saudara dan sahabatnya yang
datang. Karena sudah tak terpandang lagi oleh orang-orang sekitarnya itu, maka
pindahlah ayah Hamid beserta ibunya ke kota Padang, yang akhirnya dibuatnya
sebuah rumah kecil. Di tempat itulah ayah Hamid meninggal.
Tatkala
Hamid berumur enam tahun, untuk membantu ibunya ia minta kepada ibunya agar
dibuatkan jualan kue-kue untuk dijajakan setiap pagi.
Ada tetangga baru di dekat rumah hamid terdapat sebuah
gedung besar yang berpekarangan luas. Rumah itu telah kosong karena pemiliknya,
seorang Belanda, telah kembali ke negerinya. Hanya penjaganya yang masih
tinggal, yakni seorang laki-laki tua yang bernama Pak Paiman. Tetapi tak lama
kemudian, rumah itu dibeli oleh seorang-orang kaya yang bernama Haji Jakfar.
Isterinya bernama Mak Asiah dan anaknya hanya seorang perempuan saja yang
bernama Zainab.
Mak Asiah senang memanggil Hamid setiap pagi karena
hendak membeli makanan yang dijualnya itu. Pada waktu itu juga ia ditanya oleh
Mak Asiah tentang orang tuanya dan tempat tinggalnya. Setelah Hamid menjawab
pertanyaan itu, Mak Asiah pun meminta kepada Hamid agar ibunya datang ke
rumahnya. Sejak kedatangan ibu Hamid ke rumah Mak Asiah itulah, maka
persahabatan mereka itu menjadi karib dan Hamid beserta ibunya sudah dianggap
sebagai keluarganya sendiri.
Akhirnya Hamid dibiayai noleh haji Jakfar,suami mak
Asiah,juga disekolahkan bersama-sama anaknya, Zainab, yang umurnya lebih muda
daripada Hamid. Pergaulan Hamid dengan Zainab, seperti pergaulan antara kakak
dengan adik saja. Setelah tamat dari SD, Hamid dan Zainab pun sama-sama
dilanjutkan sekolahnya ke Mulo.
Setelah keduanya tamat dari Mulo, barulah Hamid berpisah
dengan Zainab. Keduanya sebenarnya telah saling jatuh cinta.Namun Hamid sadar
akan statusnya.Zainabpun harus masuk pingitan,menurut adat didesa itu.
sedang Hamid yang masih dibiayai oleh Haji Jakfar, meneruskan pelajaran ke
sekolah agama di Padangpanjang. Di sekolah itulah Hamid mempunyai seorang teman
laki-laki yang bernama Saleh.
Pada suatu petang, tatkala Hamid pergi berjalan-jalan di
pesisir, bertemulah ia dengan Mak Asiah yang baru datang dari berziarah ke
kubur suaminya. Ia naik perahu sewaan bersama-sama dua orang perempuan tua
lainnya.
Pada pertemuan itulah Mak Asiah mengharapkan kedatangan
Hamid ke rumahnya pada keesokan harinya, karena ada suatu hal penting yang
hendak dibicarakannya. Setelah Hamid datang pada keesokan harinya ke rumah Mak
Asiah, maka Hamid pun dimintai tolong oleh Mak Asiah agar ia mau membujuk
Zainab untuk bersedia dinikahkan dengan kemenakan Haji Jakfar yang pada waktu
itu masih bersekolah di Jawa. Tetapi permintaan itu ditolak oleh Zainab dengan
alasan ia belum lagi hendak menikah.
Penolakan itu sebenarnya disebabkan Zainab sendiri telah
jatuh cinta kepada Hamid. Bagi Hamid sendiri, sebenarnya ia cinta kepada
Zainab, hanya cintanya itu tidak dinyatakan berterus terang kepada Zainab.
Karena itulah, sebenarnya suruhan Mak Asiah itu
bertentangan dengan isi hatinya. Tetapi karena ia telah berhutang budi kepada
Mak Asiah, maka dilaksanakan permintaan tersebut. Setelah kejadian itu Hamid
pun pulang ke rumahnya, tetapi sejak itu, ia tidak pernah lagi datang ke rumah
Mak Asiah, karena sejak itu ia meninggalkan kota Padang menuju Medan dan
selanjutnya pergi ke tanah Suci Mekah. Dari Medan Hamid berkirim surat kepada
Zainab untuk minta diri pergi menurutkan kemana arah kakinya berjalan. Surat
Hamid itulah yang selalu mendampingi Zainab yang dalam kesepian itu.
Sementara itu dikota suci mekah,Hamid bertemu dengan
Saleh,temannya dahulu. Hamid menceritakan segala perasaannya pada Zainab kepada
Saleh.cinta mereka tidak bisa disatukan karena ibu Hamid sendiri melarang
Hamid untuk mencintai Zainab,karena ibu Hamid merasa tidak pantas.sementara
Ternyata Saleh adalah suami dari Rosna,Rosna sendiri adalah sahabat Zainab.
Rosna dan saleh saling bercerita,berkirim surat tentang kisah Hamid dan
Zainab.Zainab yang sedih berlebihan,karena cinta yang tidak bisa bersatu dengan
Hamid,akhirnya menjadi sakit hingga akhirnya meninggal.
Karena
terlalu cintanya Hamid pada Zainab, terlebih mendengar Zainab yang meninggal
dunia, Hamid pun tak kuasa menahan sedih.Selalu memikirkan Zainab, hingga
akhirnya Hamid jatuh sakit dan meninggal dibawah lindungan ka'bah.
BAB I
PENDAHULUAN
Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra
adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu
yang bersifat religius. Pada awal mula semua sastra adalah religius (Mangun
Wijaya, 1982:11). Istilah “religius“ membawa konotasi pada makna agama.
Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur
dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang
berbeda.
Novel Dibawah
Lindungan Ka’bah karangan Hamka, merupakan karya fiksi Indonesia modern yang
memasukkan unsur keagamaan (Islam) dalam sastra. Agama di sana adalah agama
sebagai keyakinan para tokoh cerita, bukan keyakinan (syariat) agama yang
dipermasalahkan.
Dalam kehidupan nyata
para penikmat sastra masih banyak yang tingkat aparesiasinya masih rendah.
Mereka kadang kala sulit menafsirkan apa yang di bacanya, karena di dalam karya
sastra banyak sekali kata-kata yang bersifat simbol. Sehingga apa yang
disampaikan penulis kadang kala tidak sampai pada pembaca.
Melalui pembuatan resensi dan analisa unsur intrinsi dan ekstrinsik dapat meningkatkan pemahaman kepada suatu karya sasstra.
Melalui pembuatan resensi dan analisa unsur intrinsi dan ekstrinsik dapat meningkatkan pemahaman kepada suatu karya sasstra.
1. Resensi
novel
2. Unsur
Intrinsik
3. Unsur
Ekstrinsik
1.
Menyelesaikan
tugas mata pelajaran Bahasa Indonsia pada materi resensi novel.
2.
Memberikan pengetahuan tentang unsur intrinsik Novel Dibawah Lindungan Ka’bah.
3.
Memberikan pengetahuan tentang unsur intrinsik Novel Dibawah Lindungan Ka’bah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Resensi Novel
Resensi
Buku ini
berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah yang di karang oleh Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau sering dikenal dengan nama HAMKA yang merupakan singkatan
dari namanya,beliau lahir di kampung Molek, Meninjau tahun 1908. Beliau seorang
ulama,aktivis dan sasatrawan Indonesia.Beliau dijuluki Buya oleh para
sastrawan.Buya adalah panggilan untuk orang Minangkabau, kata Buya berasal dari
bahasa Arab yaitu Abi yang artinya ayah.
Beliau
adalah anak dari syekh Abdul Karim bin Amrullah,yang merupakan pelopor gerakan
islam di Minangkabau.Hamka pernah bekerja menjadi seorang guru di Perkebunan
Kebun Tinggi dan di Padang Panjang,beliau juga menjadi dosen di Universitas
Islam, Jakarta dan Universitas Muhamadiah, Padang Panjang,beliau menjabat
Pegawai Tinggi Agama,beliau juga sebagai wartawan, penulis editor dan
penerbit.Beliau wafat pada tanggal 24 Juli 1981.
Buku ini
dari sisi agama bagus dan kental akan keagamaanya meskipun bercerita mengenai
percintaan, berbeda dengan novel jaman sekarang ini, sisi keagamaannya kurang
di tonjolkan dan lebih mengedepankan tentang percintaannya.
Dari sisi budaya Hamka mampu mengangkat adat
dari daerah Minangkabau dimana seorang perempuan apabila telah lulus dari
sekolah rendah (sekarang sederajat dengan SMP) tidak boleh
kemana-mana harus di pingit di rumah sebelum dia menikah apabila dia mau keluar
rumah dia harus di temani keluarganya atau kepercayaannya.
Dari sisi
sosial atau hubungan dengan orang lain sangat bagus karena dapat memberitahukan
bahwa kita harus bersikap dermawan dan dapat peduli kepada orang lain yang
membutuhkan pertolongan kita meskipun itu dari kalangan bawah.
Sosok
Hamka sangat religius itu terlihat dari buku-buku yang di karangnya seperti
dalam buku ini bercerita tentang percintaan namun tidak ada unsur
negatifnya ,banyak unsur agamisnya, bukan
dari buku ini saja namun dari buku-buku yang beliau karang seperti Tenggelmnya
Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli dan lain lain.
Buku ini
diterbitkan oleh PT.Bulan Bintang yang bertempat di Jalan Kramat Kwitang
,No.8 Jakarta 10420,Indonesia.
Tema
dalam buku ini mengenai percintaan,meskipun percintaan buku ini sarat akan
keagamaan.Kisah cinta disini mencerikatan dua orang yang memiliki perasaan sama
antara satu sama lain namun mereka tidak sempat bersama karena ajal telah
memisahkan mereka.
Alur yang
digunakan adalah alur campuran yakni dimulai dari Hamid yang berada di Tanah
Suci kemudian dia menceritakan mengenai masa lalunya dan menceritakan kembali
masa-masa Hamid di Tanah Suci.
Tokoh
utama yang berada di certa ini adalah Hamid dan Zainab.Hamid memiliki sifat
yang baik, sabar, tawakal, agamis, menyayangi dan menghormati orangtua. Zainab
memiliki sifat yang baik, pendiam, sabar, patuh dan menghormati
orangtua.Tokoh yng lainnya yaitu Engku Haji Ja’far dan Mak Asiah yang
memiliki sifat dermawan.Ibu Hamid yang memiliki sifat penyayang, peduli
pada buah hati.Saleh dan Rosna yang memiliki sifat sangat peduli kepada sahabat
atau setia kawan.
Latar
dalam cerita ini di Tanah Suci, Padang, Medan, pantai dan rumah.Setting pada siang
dan malam.Suasana dalam cerita ini sedih.Sudut pandang dalam cerita ini adalah
sudut pandang campuran karena terdapatn kata saya dan nama orang. Nilai yang
terkandung dalam cerita ini diantaranya nilai moral, nilai agama dan nilai
sosial
Gaya
penulisan yang digunakan pengarang adalah menggunakan bahasa Melayu dan
menggunakan bahasa arab, sehingga sedikit menyulitkan pembaca dalam memahami
maknanya. Walaupun demikian cerita ini sangat menarik untuk di baca.
Selain
itu terdapat beberapa majas, salah satunya adalah majas pesonifikasi seperti,
“surat itu bisu”, Repertisi seperti, “entah di darat, entah di laut, entah
sengsara kehausan”.
Amanat
yang dapat kita ambil yaitu kita harus berani mengungkapkan perasaan kita
kepada orang yang kita cintai, jangan kita sesali akan perbuatan kita yang
tidak peka terhadap keadaan
Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
Novel ini mempunyai alur yang dapat membawa pembaca
merasakan apa yang dirasakan Hamid dan Zainab, bagus dan kental akan
keagamaanya meskipun bercerita mengenai percintaan,memberikan banyak pesan religius salah satunya dapat memberitahukan
bahwa kita harus bersikap dermawan dan dapat peduli kepada orang lain yang
membutuhkan pertolongan kita meskipun itu dari kalangan bawah.
Kekurangan
Kekurangan dari Novel Di Bawah Lindungan
Ka’bah : Terletak pada bahasa yang digunakan. Karena bahasa yang digunakan
yaitu antara bahasa minang-indonesia dan bahasa melayu.
1. Tema
Kasih
tak sampai
“Mustahil
dia akan dapat menerima cinta saya, karena dia langit dan saya ini bumi,
bangsanya tinggi, dan saya hidup darinya tempat buat lekat hati Zainab. Jika
kelak datang waktunya orang tua bermenantu, mustahil pula saya akan termasuk
dalam golongan orang yang terpilih untuk menjadi menantu Engku Haji Ja'far.
Karena tidak ada yang akan diharapkan dari saya. Tetapi Tuan... kemustahilan
itulah yang kerap kali memupuk cinta.”
Sebelum
mereka bertemu dalam ikatan yang sah atau menikah keduanya telah dipanggil oleh
Allah SWT.
“Dibibirnya
terbayang suatu senyuman dan...sampailah waktunya. Lepas ia dari tanggapan
dunia yang mahaberat ini., dengan keizinana Tuhannya. Di bawah lindungan
ka'bah!”
2. Alur/Plot
a.
Pengenalan
“Ketika menginjakan kaki di tanah suci, aku menumpang
di rumah seorang syekh yang pekerjaan dan pencahariaannya dari memberi
tumpangan bagi orang haji. Di tempat tumpangan itu si Aku bertemu dengan
seorang pemuda yang berusia kira-kira 23 tahun. Pemuda itu menurut syekh
berasal dari Sumatra. Dalam beberapa hari si Aku dapat berkenalan dengannya.”
b.
Pengugkapan Masalah
“Saya
berasa sebagai seorang yang kehilangan, padahal jika saya periksa penaruhan
saya, pasti meja tulis, kain dan baju, semuanya cukup. Tetapi badan saya
ringan, seakan-akan ada suatu kecukupan yang telah kurang.”
c.
Tahap Menuju
Konflik
“Setelah
beberapa lama kemudian, dengan tidak disangka-sangka satu musibah besar telah
menimpa kami berturut-turut. Pertama ialah kematian yang sekonyong-konyong dari
Engku Haji Ja'far yang dermawan itu...Kematiannya membawa perubahan, yang bukan
sedikit kepada perhubungan dengan rumah tangga Zainab. Belum beberapa lama
setelah budiman itu menutup mata, datang pula musibah baru kepada diri saya.
Ibu saya yang tercinta, yang telah membawa saya menyebrangi hidup
bertahun-tahun telah ditimpa sakit, sakit yang selama ini telah melemahkan
badannya, yaitu penyakit dada.”
d.
Klimaks
“...Dapatkah
engkau menolong mamak, melunakan hatinya dan membujuk dia supaya mau? Hamid! …
Mamak percaya kepadamu sepenuh-penuhnya,sebagai mendiang bapakmu percaya kepada
engkau!”
e.
Penyelesaian
“Begitupun dengan Zainab kini ia telah mengetahui
keberadaan Hamid, seseorang yang ia nantikan selama bertahun-tahun. Karena
Saleh pula cinta keduanya jadi terbuka, Hamid dan Zainab kini sama-sama telah
mengetahui perasaan masing-masing, yang ternyata cinta mereka tidak bertepuk
sebelah tangan. Tetapi sebelum keduanya bertemu di tanah air, Tuhan telah
berkehendak lain. Zainab dipanggil-Nya, disusul pula oleh Hamid yang juga di
paggil-Nya.”
3. Sudut Pandang
Dalam
menulis novel ini, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama dan orang
ketiga. Sudut pandang dalam cerita ini adalah sudut pandang
campuran karena terdapatn kata saya dan nama orang.
“Belakangan Hamid lebih banyak duduk termenung dan berdiam seorang diri, seakan-akan "Saya" dianggap tidak ada dan idak diperdulikannya lagi. “
“Belakangan Hamid lebih banyak duduk termenung dan berdiam seorang diri, seakan-akan "Saya" dianggap tidak ada dan idak diperdulikannya lagi. “
4.
Tokoh dan Penokohan
a. Hamid :
1)
Tabah,sabar, tegar, pendiam, dan suka bermenung seorang diri.
“Seorang anak muda yang baru berusia kira-kira 23
tahun, ……………, sifatnya pendiam, suka bermenung seorang diri...
2)
Seorang pemuda yang shaleh
menjalankan ibadah, sopan, berbudi pekerti yang baik dan mulia. Hidupnya amat
sederhana, tidak lupa beribadat, tidak suka membuang-buang waktu kepada sesuatu
yang tidak bermanfaat, dan dia juga suka membaca buku-buku agama
“Biasanya sebelum kedengaran azan
subuh, ia telah lebih dahulu bangun, pergi ke masjid seorang dirinya, ….dan
sifatnya yang saleh., …saya telah beroleh seorang sahabat yang mulia dan patut
dicontoh hidupnya amat sederhana, tiada lalai dari beribadat,
tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah, lagi amat suka
memperhatikan buku-buku agama”
3) Suka bekerja keras, berbakti kepada orang tua, serta
tabah menghadapi cobaan.
“Masa saya masih berusia empat
tahun, ayah saya telah wafat.… saya hanya duduk dalam rumah di dekat ibu,
mengerjakan apa yang dapat saya tolong., Sehingga akhirnya saya telah menjadi
menjadi seorang anak penjual kue yang terkenal.…, …, dengan tidak
disangka-sangka satu musibah besar telah menimpa kami berturut-turut.pertama
ialah kematian yang sekonyong-konyong dari Engku Haji Ja’far yang
dermawan itu., ibu saya yang tercinta, yang telah membawa saya menyeberangi
hidup bertahun-tahun telah ditimpa sakit,…, …,sedang saya duduk menjaga dengan
diam dan sabar., sekarang saya sudah
tinggal sebatang kara dalam dunia ini.”
4) Seorang pemuda yang berpendidikan, dan pintar dalam
ilmu agama
“Sekolah-sekolah agama yang disitu
mudah sekali saya masuki,…seorang guru memberi pikiran, menyuruh saya
mempelajari agama di luar sekolah saja sebab kepandaian saya lebih tinggi dalam
hal ilmu umum daripada kawan yang lain.”
b.
Zainab
1) Seorang gadis anak
dari Haji Ja’far yang berhati mulia dan taat kepada orang tuanya.
“Anak perempuan itu masih kecil,
sebaya dengan saya. Apa perintah ibunya diikutinya dengan patuh rupanya ia amat
disayangi karena anaknya hanya seorang itu.”
2) Mudah bergaul, baik,
pendiam, tidak sombong, dan rendah hati
“Umur saya lebih tua daripada
Zainab. Meskipun saya hanya anak yang beroleh tolongan dari ayahnya,
sekali-kali tidaklah Zainab memandang saya sebagai orang lain lagi, tidak pula
pernah mengangkat diri, agaknya karena kebaikan didikan ayah bundanya. Cuma di
sekolah, anak-anak orang kaya kerap kali menggelakkan saya, anak berjual goring
pisang telah bersekolah sama-sama dengan anak orang hartawan.”
c. Saleh
1)
Sahabat Hamid yang berbudi luhur, taat beragama, baik,
mempunyai tutur kata yang sopan, amanah,
jujur, dan setia kawan.
”Tenangkanlah hatimu, Sahabat!” kata Saleh. “Kehendak Allah telah berlaku. Ia telah
memanggil orang yang dicintai-Nya ke hadirat-Nya.”
2)
Seorang yang berpendidikan dan kaya
“Saleh adalah seorang teman saya
semasa kami masih sama-sama bersekolah agama di Padang Panjang. Oleh karena
sekolahnya di Padang telah tamat, dia hendak meneruskan pelajarannya ke Mesir,
ia singgah ke Mekah ini untuk mencukupkan rukun.”
d.
Rosna
1)
seorang wanita
istri dari Saleh yang setia dan teguh hati.
“Dia menceritakan kepadaku, bahwa dia telah beristri
dn istrinya telah sudi melepaskan dia berlayar sejauh itu, padahal mereka baru
kawin. Dipujinya istrinya sebagai seorang yang setia dan teguh hati melepas
suaminya berjalan jauh karena untuk menambah pengetahuannya.”
e.
Ibu Hamid
1) Setia
“ada juga dua tiga orang dari
kalangan saudagarsaudagar atau orang-orang berpangkat yang memintanya menjadi isteri,
tetapi semuanya telah ditolaknya dengan perasaan yang sangat terharu. Hatinya
belum lupa kepada almarhum ayah, semangatnya boleh dikatakan telah mengikutinya
ke kuburan.”
2) Penuh kasih sayang.
“Di waktu teman-teman bersukaria
bersenda gurau, melepaskan hati yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam
rumah didekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong. Kadang-kadang ada
juga disuruhnya saya bermain-main, tetapi hati saya tiada dapat gembira sebagai
teman-teman itu, karena kegembiraan bukanlah saduran dari luar, tetapi terbawa
oleh sebab-sebab yang boleh mendatangkan gembira itu.
3) Tak mudah putus
asa,penyabar
“Tetapi ibu kelihatan tidak putus
harapan, ia berjanji akan berusaha, supaya kelak saya menduduki bangku sekolah,
membayarkan cita-cita almarhum suamiya yang sangat besar angan-angannya, supaya
kelak saya menjadi orang yang terpakai dalam pergaulan hidup.”
4) Pemarah
“Mula-mula ibu seakan-akan hendak
menampik, dia agak marah kepada saya, kalau-kalau saya telah bercepat mulut
menerangkan untung perasaian kami kepada orang lain.”
f.
Haji Ja’far
1)
Pekerja keras
“Konon khabarnya, kekayaan yang di dapatnya itu adalah
daripada usahanya sendiri dan titik peluhnya, bukan waris daripada orang
tuanya.”
2)
Suka tolong menolong, rendah hati,
tidak sombong, pandai bergaul, berbudi yang baik dan ramah.
“Saya akan disekolahkan dengan
belanja Engku Haji Ja’far sendiri bersama-sama anaknya., …melanjutkan cita-cita
ibu saya karena kedermawanan Engku Haji Ja’far juga., ia seorang yang sangat
dicintai oleh penduduk negeri, karena ketinggian budinya dan kepandaiannya
dalam pergaulan, tidak ada satu pun perbuatan umum di sana yang tak dicampuri
oleh Engku Haji Ja’far. …seorang hartawan yang amat peramah kepada fakir dan
miskin”
3)
Baik hati dan dermawan.
“Belajarlah sungguh-sungguh, Hamid, mudah-mudahan
engkau lekas pintar dalam perkara agama dan dapat hendaknya saya menolong
engkau sampai tamat pelajaranmu...”
g.
Mak Asiah
1)
Peramah dan
penyanyang
“Perempuan itu memakan sirih, mukanya jernih, peramah
dan penyayang…..
2)
Dermawan, rendah hati, dan memiliki rasa belas kasihan
“Segala perasaian dan penanggungan ibu didengarnya dengan tenang dan muka rawan,
kadang-kadang ia pun turut menangis waktu ibu menceritakan hal-hal yang
sedih-sedih. Sehingga waktu cerita itu habis, terjadilah diantara keduanya
persahabatan yang kental, harga-menghargai dan cinta mencintaI”
h.
Badui
1)
Baik, patuh perintah dan pekerja keras.
“Tiada berapa saat kemudian datanglah Badui tersebut
dengan temannya membawa tandu yang kami pesan. Hamid pun dipindahkanlah ke dalam
dan diangkat dengan segera menuju Masjidil Haram”
“Setelah nyata wafatnya, maka dengan tidak menunggu
lama, kedua Badui itu memikul mayat itu ke rumah syekh kami. Dan mereka berdua
jugalah yang mengurus dan memikulnya sampai ke kubur. “
i.
Pak Paiman
1)
Baik hati, suka memberi, dan
rajin.
“Selama itu kerap kali kami datang
ke situ meminta buah rambutan dan saoh (sawo) kepada Pak Paiman,…, Pak Paiman
yang telah menjadi jongos untuk memelihara perkarangan itu, belum pernah dapat
suara yang keras darinya.”
j.
Aku
1)
Hidupnya lebih dari
cukup
“Alangkah besar hati saya ketika
melihat Ka’bah…”, ”saya injak Tanah Suci dengan persangkaan yang biak.”,…”
tentu saja selain saya sendiri, orang-orang yang datang ke sana itu adalah
orang-orang yang gembira dan mampu.”
2)
Pintar bergaul, an menghormati
orang lain
“Melihat kebiasaannya demikian dan sifatnya
yang saleh, saya menaruh hormat yang besar atas dirinya dan saya ingin hendak
berkenalan.”
3)
Peduli dan perhatian terhadap penderitaan orang lain
“…kesedihannya
itu telah berpindah ke dada saya, meskipun saya tak tahu apa yang
disedihkannya.”, “…saya beranikan hati mendekatkan diri kepadanya. Maksud saya kalau dapat hendak membagi kedukaan
hatinya.”, “…saya akan menolong engkau sekedar tenaga yang ada pada saya.
Karena meskipun kita belum lama bergaul, saya tidak akan menyia-nyiakan
kepercayaan engkau kepada diri saya.”
5. Setting/latar
a.
Latar Tempat
1)
Pelabuhan Jeddah
“Pada hari kelima belas sampailah saya dipelabuhan
Jeddah, pantai Laut Merah itu”
2)
Rumah Syeikh
“Saya menumpang di rumah seorang syeikh yang pekerjaan
dan pencariannya semata-mata daripada memberi tumpangan bagi orangorang haji”
3)
Di Mekkah
“Menurut keterangan syekh kami,
anak muda itu berasal dari Sumatera, datang pada tahun yang lalu, jadi adalah
dia seorang yang telah mukim di Mekah.”
4)
Di atas satah
“Terkadang-kadang kelihatan ia termenung seorang diri di atas satah”
5)
Di Rumah Hamid
“Saya hanya duduk dalam rumah didekat ibu”
6)
Di Halaman Rumah Haji Jafar
“Setelah saya akan meninggalkan halaman rumah itu.”
7)
Beranda belakang
” Waktu itu ibuku dan ibunya sedang duduk di beranda
belakang”
8)
Di Puncak Gunung Padang
“Waktu orang berlimau,
sehari orang akan berpuasa, kami dibawa ke atas puncak Gunung Padang.”
9)
Padang
“Sehari orang akan puasa, kami
dibawa ke atas Gunung Padang, karena di sanalah ayahku berkubur dan beberapa
famili ibu Zainab.”
10) Padang Panjang
“Sejak mula saya pindah ke Padang
Panjang, senantiasa saya merasa kesepian.”
11) Pesisir Arau
“Di waktu saya sedang
berjalan-jalan seorang diri di Pesisir Arau yang indah itu”
12) Medan, Singapura, Bangkok, Tanah-tanah Hindustan,
Karachi, Basrah, Irak, Sahara Nejd
“Tiada lama saya di Medan, saya
menuju Singapura, mengembara ke Bangkok, berlayar terus memasuki tanah-tanah
Hindustan, dan dari karachi berlayar menuju ke Basrah, masuk Irak, melalui
Sahara Nejd dan akhirnya sampailah saya ke Tanah Suci ini.”
13) Masjidil Haram
“Setiap malam saya duduk beri`tikaf di dalam Masjidil
Haram”
14) Di Madinah
“Sepuluh hari sebelum orang-orang berangkat ke Arafah
mengerjakan wukuf, jemaah-jemaah telah kembali dari ziarah besar ke Madinah.”
15) Arafah
“Di `Arafah sangat benar panasnya, sehingga ketika
berhenti di tempat itu sehari lamanya”
16) Mina, Muzdalifah
“Setelah matahari terbenam kami kembali menuju ke
Mina, berhenti sebentar di Muzdalifah memilih batu untuk melempar "
Jumrah" di Mina itu kelak.”
17) Pekuburan Ma'ala
“Sehari sebelum kami
meninggalkan Mekkah, pergilah kami berziarah ke kuburan Ma'ala, tempat Hamid di
kuburkan.”
b.
Latar Waktu
1)
Tahun 1927
“Konon kabarnya,
belumlah pernah orang naik haji seramai tahun 1927 itu, baik sebelum itu
ataupun sesudahnya.”
2)
Bulan Ramadan, Bulan Syawal
“Baharu dua bulan saja, semenjak awal Ramadan sampai
syawal... “
3)
Malam
“Pada suatu malam, sedang ia duduk seorang dirinya...
“
Di waktu malam,
ketika akan tidur, kerap kali Ibu menceritakan kebaikan Ayah... “
4)
Pagi
“Tiap-tiap pagi saya selalu di hadapan rumah itu... “
“Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu...”
“Besok paginya, saya tidak menjunjung nyiru tempat kue
lagi...”
5)
Hari Minggu
“Hari Minggu kami diizinkan pergi
ke tepi laut.....”
6) Patang
“Pada petangnya takut-takut cemas
pergilah dia ke rumah besar itu. “
7) Sore
“…Kadang-kadang di waktu sore
kami duduk di beranda muka...”
8) Pukul empat petang
“Kira-kira pukul empat petang,
jemaah-jemaah telah berangkat berduyun-duyun menuju ke `Arafah”
9) Bulan Zulhijjah
“Pada hari kedelapan
bulan Zulhijjah, datang perintah dari syekh kami...”
c.
Latar Suasana
1)
Bahagia
“Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu saya dengan
perasaan yang sangat gembira, membawa kabar suka yang sangat membesarkan
hatinya, yaitu besok Zainab akan diantarkan ke sekolah dan saya dibawa serta.
Saya akan disekolahkan dengan belanja Engku Haji Ja'far sendiri bersama-sama
anaknya. Mendengar perkataan itu, terlompatlah air mata ibuku karena suka cita,
kejadian yang selama ini sangat diharap-harapkannya.”
“Bilamana pakansi puasa telah datang, gembiralah hati
saya, karena akan dapat saya menghadap ibu saya, memaparkan dihadapannya, bahwa
dia sudah patut gembira, karena anaknya ada harapan akan menjadi orang alim. “
“...Ibu saya titik air matanya karena kegirangan,
Engku Haji Ja'far tersenyum mendengar saya mengucapkan terima kasih. Mak Asiah
memuji saya sebagai anak yang berbudi. “
2)
Duka
” Ia melihat kepada saya dengan tenang, alamat
berpisah yang akhir. Dari mulutnya keluar kalimah suci, bersamaan dengan
kepergian nyawanya ke dalam alam yang baqa', yang di sana tempat manusia lepas
daripada segala penyakit. “
3)
Bingung
“Setelah itu saya menjadi bingung, tidak tentu lagi
apa yang akan saya terangkan kepadanya.”
4)
Sedih
“...air matanya titik amat derasnya membasahi sorban
yang membalut dadanya...”
“Yang berasa sedih amat, adalah anak-anak perempuan yang akan masuk pingitan; tamat sekolah bagi mereka artinya suatu sangkar yang telah tersedia buat seekor burung yang bebas terbang..”
“Yang berasa sedih amat, adalah anak-anak perempuan yang akan masuk pingitan; tamat sekolah bagi mereka artinya suatu sangkar yang telah tersedia buat seekor burung yang bebas terbang..”
“Tidak mak, cuma kematian yang bertimpa-timpa itu agak
mendukakan hatiku, itulah sebabnya saya kurang keluar dari rumah.”
“...air matanya kelihatan menggelenggang, mengalir, setitik dua titik kepipinya... “
“...air matanya kelihatan menggelenggang, mengalir, setitik dua titik kepipinya... “
“Air mata Zainab kembali jatuh... “
“Melihat itu kepalanya tertekun ia menarik nafas
panjang, dari pipinya meleleh dua titik air mata yang panas.”
5)
Hening
” Beberapa minit lamanya tenang saja dalam ruangan itu
tak seorang jua pun di antara kami yang berkata; ibunya seakan-akan menunggu
supaya perkataan itu lekas dimulai, Zainab kelihatan malu tak mahu melihat muka
saya, sedang saya masih termenung memikirkan dari manakah percakapan itu akan
saya mulai. “
6)
Penuh pengharapan
“dan jika abang terlambat pulang, agaknya bekas tanah
penggalian, bekas air penalkin dan jejak mijan yang dua, hanya yang akan abang
dapati.”
7)
Terpukul
“Muka Salleh menjadi pucat,jantung saya berdebar-debar
membaca isinya yang tiada sangka-sangka, Zainab telah meninggal, surat
menyusul, Rosnah. “
8)
Risau
“Demamnya yang dibawa dari Mekah bertambah
menjadi-jadi, lebih-lebih setelah mendapat hawa yang panas di `Arafah itu. Di
sana banyak orang yang mati kerana kepanasan. Hamid tak mahu lagi makan,
badannya sangat lelah, sehingga seketika berangkat ke Mina ia tiada sedarkan
dirinya, demi melihat hal itu, jantung saya berdebardebar”
9)
Gugup
“Mendengar itu ia bertambah menekur, tak berani ia
mengangkat muka lagi, dan saya pun gugup hendak menambah perkataan, memang
bodoh saya ini, dan pengecut! “
f.
Gaya Bahasa
Dalam novel
Dibawah Lindunga Ka’bah karya Hamka menggunakan bahasa melayu yang baku yang sederhana tetapi
berjiwa.
" Ah, anakku, pandai benar engkau mewartakan
nasibmu kepada ibumu! Mengapa engkau segila itu benar, pada hal agaknya engkau
belum mengetahui bagaimana pula perasaan Zainab kepada dirimu?"
Didalam novel ini juga menggunakan banyak majas,yaitu:
1)
Asosiasi
“…Bukit-bukit yang gundul itu tegak dengan teguhnya laksana pengawal yang menyaksikan dan menjagai orang haji yang berangsur pulang ke kampungnya masing-masing.”
“…Bukit-bukit yang gundul itu tegak dengan teguhnya laksana pengawal yang menyaksikan dan menjagai orang haji yang berangsur pulang ke kampungnya masing-masing.”
2)
Hiperbola
“...terlompatlah air mata ibuku karena suka cita.”
“ ...dan kadang-kadang memberi melarat kepada jiwamu.
“
“ ...saya karam dalam permenungan... “
“...air matanya kelihatan menggelenggang...”
“...saya patahkan hati anaknya yang hanya satu...”
“...saya telah karam di dalam khayal....”
“...dia telah meninggalkan saya dengan gelombang
angan-angan... “
“Dan kapalku memecahkan ombak dan gelombang menuju
Tanah air yang tercinta.”
4)
Antitetis
“...kita akan bertemu dengan yang tinggi dan yang
rendah, kita akan bertemu dengan kekayaan dan kemiskinan, kesukaan dan
kedukaan, tertawa dan ratap tangis.”
“...di antara kaya dan miskin, mulia dan papa... “
“...di antara kaya dan miskin, mulia dan papa... “
“ ...tidak memperbeda-bedakan di antara raja-raja
dengan orang minta-minta, tidak menyisihkan orang kaya dengan orang miskin,
orang hina dengan orang mulia...”
5)
Personifikasi
“ ...tiba-tiba datang ombak yang agak besar, dihapuskannya unggunan yang kami dirikan itu...”
“ ...dicelah-celah ombak yang memecah ke atas pasir...”
“ ...memperhatikan pergulatan ombak dan gelombang...”
“ ...tiba-tiba datang ombak yang agak besar, dihapuskannya unggunan yang kami dirikan itu...”
“ ...dicelah-celah ombak yang memecah ke atas pasir...”
“ ...memperhatikan pergulatan ombak dan gelombang...”
6)
Repetisi
“Masa itu sedang rimbun, bunga sedang kembang dan buah sedang lebat”
“Engkau tentu memikirkan juga, bahwa emas tak setara dengan loyang, sutra tak sebangsa dengan benang.“
“Masa itu sedang rimbun, bunga sedang kembang dan buah sedang lebat”
“Engkau tentu memikirkan juga, bahwa emas tak setara dengan loyang, sutra tak sebangsa dengan benang.“
7)
Klimaks
“Senantiasa saya hitung pertukaran hari ke bulan dan dari bulan ke tahun.”
“Mereka itu mendakwakan bersaudara, berkarib, berfamili.”
“Senantiasa saya hitung pertukaran hari ke bulan dan dari bulan ke tahun.”
“Mereka itu mendakwakan bersaudara, berkarib, berfamili.”
8)
Metafora
“Singgalang yang senantiasa diliputi kabut...”
“Singgalang yang senantiasa diliputi kabut...”
9)
Pleonasme
“Badannya kurus lampai”
“Badannya kurus lampai”
g.
Amanat
1)
Amanat Tersirat
a.
Jangan pernah berputus asa, karena setiap masalah pasti akan
ada jalan keluarnya.
b.
Teruslah berusaha dan berdoa agar semua yang
diinginkan akan tercapa, karena Allah SWT pasti akan mendengar doa dari
hambanya.
c.
Kita harus berani mengungkapkan perasaan kita kepada
orang yang kita cintai, jangan kita sesali akan perbuatan kita yang tidak peka
terhadap keadaan.
d.
Kita harus harus berbicara yang sopan walaupun kepada
orang yang usianya lebih muda dan selalu tolong-menolong kepada sesama.
e.
Segala sesuatu
membutuhkan pengorbanan. Kita sebagai manusia boleh berencana, berharap
dan berusaha semaksimal mungkin, namun Allah jugalah yang menentukan semua itu.
f.
Dalam menghadapi suatu masalah harus lebih bijak dan
memahami perasaan orang lain, serta harus bersabar dan dapat menerima kenyataan
walau menyakitkan.
2)
Amanat Tersurat
a.
Kita harus memupuk dan mempertahankan cinta dengan
jalan lurus, artinya harus dengan jalan ridho Ilahi.
b.
Jangan menumbuhkan perasaan jika akhirnya akan membawa
duka,bahwa emas tak setara dengan loyang, sutra tak sebangsa dengan benang.”
c.
Belajarlah
dengan sungguh-sungguh
1. Biografi
Penulis
HAMKA adalah
singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir di Molek,
Meninjau, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908. Ayah beliau bernama Syeh Abdul
Karim bin Amrullah (Haji Rasul).
Pada tahun 1928 Hamka
menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang. Tahun 1929 beliau membangun
“Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah” dua tahun kemudian menjadi ketua
Muhammadiyah di Sumatra Barat dan Pada 26 juli 1957 beliau menjadi ketua
Majelis Ulama Indonesia.
Riwayat Pendidikan
HAMKA
HAMKA bersekolah dasar di Maninjau hanya sampai
kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thalib di
Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab.
HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti
Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sultan Mansur, R.M. Surjopranoto dan
Ki Bagus Hadikusumo.Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training
pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman Yogyakarta.
Riwayat Karier HAMKA
HAMKA bekerja sebagai
guru agama pada tahun 1927 di perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929
di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam,
Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957-1958.
Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan
Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Sejak perjanjian
Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan
memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul
Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan
tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951
hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri
Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti
Ali, melantik HAMKA sebagai ketua Umum
Maljlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatannya itu pada tahun 1981
karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Aktivitas Sastra
HAMKA
Selain aktif dalam
soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor
dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar
seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.
Pada tahun 1928, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di
Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah pedoman Msyarkat, Panji
Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga
menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen.
Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada tahun 1950, ia
mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai Negara daratan Arab. HAMKA
menulis beberapa novel. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah
Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan novel-novel di
atas, ia telah membuat novel yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau
ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan novel yang mendapat
perhatian umum dan menjadi buku teks sastera Malaysia dan Singapura. Setelah
HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena
menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
Wafatnya HAMKA
Pada tanggal 24 Juli
1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah, jasa dan pengaruhnya masih terasa
sehingga kini dalam memartabatkan agama islam. Beliau bukan sahaja diterima
sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan
jasanya di seantero Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Penghargaan
Atas jasa dan
karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris
Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari
Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan
Pangeran Wiroguni dari pemerintah Indonesia.
Pandangan HAMKA
Tentang Kesastrawan
Pandangan sastrawan,
HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul
Malik Karim Amrullah Datuk Indono tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan
ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau
imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan;
keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah
tulisan.
Buah Pena Buya HAMKA
Kitab Tafsir Al-Azhar
merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari
118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA tersebut dimulainya tahun 1960.
2. Latar
Belakangg Penulisan
Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah Muslim asal Minangkabau
yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang
tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan
agama, sebagaimana pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah.
Setelah melakukan perjalanan ke Jawa
dan Mekkah
sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu, ia mulai bekerja sebagai guru agama
di Deli,
Sumatera Utara,
lalu di Makassar,
Sulawesi Selatan.
Dalam
perjalanan itu, terutama saat di Timur
Tengah, Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam,
termasuk karya penulis asal Mesir Mustafa Lutfi al-Manfaluti
hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk
kembali ke Medan. Di Medan, Hamka mulai menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah ketika menjadi editor untuk majalah
Islam mingguan Pedoman Masjarakat,
yang dalam majalah tersebut untuk pertama kalinya nama
pena Hamka diperkenalkan.
3. Nilai yang ada dalam masyarakat
1)
Nilai Sosial
“...kemiskinan telah
menjadikan ibu putus harapan memandang kehidupan dan pergaulan dunia ini,
karena tali tempat bergantung sudah putus dan tanah tempat berpijak sudah
terban...”
2)
Nilai Agama
“ Ibu pun menunjukkan kepadaku beberapa do’a dan
bacaan, yang menjadi wirid dari almarhum Ayah semasa mendiang hidup,
mengharapkan pengharapan yang besar-besar kepada Tuhan serwa sekalian alam
memohon belas kasihannya ”.
3)
Nilai Pendidikan
“Sekolah-sekolah Agama yang di situ mudah sekali saya
masuki, karena lebih dahulu saya mempelajari ilmu umum, saya hanya tinggal
memperdalam pengertian dalam perkara agama saja, sehingga akhirnya salah
seorang guru menyarankan saya mempelajari agama di luar sekolah , sebab
kepandaian saya dalam ilmu umum”.
4)
Nilai
Moral
“ …maka pada dirinya saya dapati beberapa sifat yang
tinggi dan terpuji, yang agaknya tidak terdapat pada pemuda-pamuda yang lain
baik dari kalangan kaya dan bangsawan sekalipun. Sampai pada saat yang paling
akhir daripada kehidupan ayahku, belum pernah ia menunjukkan Perangai yang
tercela. Wahai Ros saya tertarik benar kepadanya”
BAB III
PENUTUP
Resensi sebuah novel
sebagai bentuk tanggapan pembacanya terhadap karya sasrta.Dalam pembuatan
resens harus memperhatikan tema,
alur/plot, setting/latar, sudut pandang, karakter, gaya bahasa, dan amanat, di
mana hubungan antar unsur dalam novel ini menunjukkan hubungan yang begitu padu
sehinggga menghasilkan jalinan cerita yang sangat menarik yang disebut dengan
unsur intrinsik pada sebuah karya sastra.Selain unsur intrinsik resensi juga
harus memperhatikan unsur ekstrinsik yang ada pada novel.
Ada banyak pelajaran yang dapat
dambil dari novel Dibawah Lindungan Ka’bah karya Hamka,terutama nilai religius
yang sangat melekat didalam novel itu.Unsur religiusitas roman Dibawah
Lindungan Ka’bah karya Hamka mengandung aspek aqidah, syariah, dan akhlak yang
tergambar dalam setiap perilaku tokoh yang dimainkan, di samping itu pengarang
sendiri sebagai seorang agamawan yang begitu kental memasukkan unsur–unsur
agama ke dalam roman ini.
Marilah kita senantiasa buntuk membaca dan menelaah
apa yang ada disekitar kita untuk mempertajam fikiran dalam rangka terbentuknya
insal kamil, salah satu caranya adalah dengan menelaah karya sastra yang sarat
akan nilai kemanusiaan dan kehidupan sebagai masalah humanitas.
Komentar
Posting Komentar