Menjemput Subuh, Bersama Suaramu.



Menjemput Subuh,
Bersama Suaramu.


Da.~



Sebuah cerita, tentang suatu malam dimana aku sangat meindukanmu. Meski bibir  dan jariku terus  saja menjelaskan bahwa Kei adalah satu-satunya yang istimewa yang membuatku bersajak siang dan malam. Tapi, aku merindukan yang lain. Itu kamu.
Aku sendiri percaya bahwa saat ini aku bukanlah prioritas bagimu, terlihat dari caramu membalas pesanku. Aku begitu cepat membalas dan kamu sedikit mengabaikan dengan mengurus pesan yang lain. Aku bahkan melakukan pin agar namamu selalu ada di bagian atas pesanku, karna ada banyak pesan masuk dan mungkin saja pesanmu akan tertimbun, meski aku yakin itu tidak engkau lakukan padaku.
Kadang kupandangi terus-menerus  akunmu yang terterakan fotomu yang sedang tersenyum dan bertuliskan “online”. Tapi pesanku masih saja tidak membiru. Beberapa waktu terakhir aku merasa  tidak ingin tidur tanpa sapaan malam darimu, meski pada nyatanya itu memang tidak terjadi.
Jika pagi, siang dan sore aku sulit menemukanmu. Maka aku tau bahwa kau bisa kutemukan setelah tengah malam. Dan benar saja, lewat dari pukul dua belas malam. Aku tidak ingat apa yang kita bahas di awal, kemudian terdengar suara-suara triakan dari ruang tamu rumahku. Aku keluar dan melihat, ternyata sebuah api sedang marah di mesin mobil bagian depan. Apinya cukup besar, membat semua orag dirumah panik, kecuali adikku yang tetidur sangat lelap.
Ada banyak air di lantai, dan ada beberapa darah. Kuarasa Ayah dan Ibukku terjatuh saat berusaha memadamkan api hingga rumah terasa banjir. Aku langsung bergegas membantu mereka, dan beberapa saat kemudian api pun padam. Mengerikan, mungkin saja mobil itu bisa meledak jika Allah tidak menolong kami.
Aku kembali ke kamarku, menggenggam kembali ponselku setelah berwudhu sebelumnya. Jantungku masih berdebar sangat kencang dan sedikit pusing. Kuceritakan kepadamu perasaanku dan yang terjadi di rumahku.
Kamu  sedikit menenangkanku sebelum malah keadaan jadi terbalik  menjadi kamu yang merengek-rengek. “ Aku dapat nilai D” katamu, dalam keadaan itu aku sama sekali tak mau mengeluarkan emotikon macam-macam, tapi justru kamu banyak mengeluarkan emotikon cry. Lucu, membuatku harus menenangkanmu dan memberi saran ini itu. Kukatakan untuk solat dua rakaat seperti yang dulu  Rosulullah lakukan ketika hatinya gundah.
Tapi kau bilang tak bisa solat karna beberapa alasan, aku jadi sedikit curiga. Kemudian kamu menjelaskannya dengan satu kalimat “ngerti la dak, kan udah sama-sama dewasa” dan membuatku lelah menahan tawa karna aku juga tak dapat mengeluarkan suaraku  keras-keras agar tidak ketahuan orang tuau bahwa aku belum tidur.
Beberapa hari sebelumnya aku menawarkan kuota teleponku yang begitu banyak, tapi karna sikapmu yang seperti biasa agak acuh aku mengurungkan niat meski katamu aku boleh menelfon di malam hari.
Dan kamu menagihnya pada pukul 00.59 dalam kegundahanmu. Aku menyepakatinya, tepat pukul 01.00 AM aku menelfonmu. Kurasa aku sudah melampau batas, ada yang aneh dengamu yang berani menelfon seorrang ikhwan pada jam-jam terlarang. Aku menyadari itu salah, dan itu gila. Tapi aku tetap melakukannya, mungkin ini yang namanya kelemahan.
Mungkin saja jika orang tuaku tau aku akan langsung d suuh tidur, atau jika Mr ku tau mungkin aku akan dapat iqob yang demikian banyaknya atas kelakuanku. Tapi baiklah, aku santai saja selagi apa yang  kulakukan tidak berbahaya dan tau batas.
Aku membuka pembicaraan itu dengan salam, begitupun kamu. Hatiku sedikit bergetar saat pertama mendengar suaramu, sedikit saja. Sudah lama rasanya kita tidak saling bebicara secara langsung.
Kamu berbicara nilaimu begini dan begitu, tentang sahabatmu yang seperjuangamu yang mendapat nilai B padahal katamu perjuangan kalian sama. Baiklah  aku paham betul rasanya kecewa dengan nilai dan rasa kesal tak dapat memberi yang terbaik sebagai hadiah untuk kedua oang tua. Umi dan ayahmu pasti ingin putranya mendaat yang terbaik.
Lalu kita berbicara panjang  dan lebar, kali tinggi mungkin sangking lengkapnya. Beberapa belas menit pertama tiba-tiba listrik di daerahku padam, gelap sekali, dan tak ada sinyal meskipun telkomsel yang katanya jaringan terkuat, dan mahal.
Aku membongkar ponselku dan memindah sim cardku ke ponsel kecilku dalam gelap dan hanya mengandalkan perasaan tanpa cahaya. Ponsel kecil itu selalu bersinyal dalam keadaan apapun rasanya, dan juga hemat batrai, menyenangkan.
Aku menghidupkan ponselku, lalu mencari namamu, ku panggil kembali. “Kenapa mati” katamu, aku menjelaskan dengan singkat. Kita lalu melanjutkan obrolan dengan panjang dan lebar. Beberapa kali mati karna kondisi sinyal atau apa, tap langsung tersambung kembali dalam hitungan detik.
Kita berbicara tanpa ada jeda diam, tanpa kebosanan. Seakan segala sesuatunya akan kita diskusikan bersama. Tapi benar, aku tidak merasa bosan. Mulai dari aspek lingkungan, agama, membicarakan diri da lain sebagainya. Membicarakan tentang dakwah kampus yang nyata-nyata memang sedang kita hadapi sudah barang pasti tak habis dibahas.
Memagnya oang tua ngga marah telfonan jam segini?”
Marah, kalo tau. Makanya suaranya ngga keras-keras. Kalo dikosan bisa sampe pagi”
Sekarang juga bisa”
“Emang mau sampe pagi?”
Jangan deh, haha”
Berbicara dunia, dan beberapa buku. Kemudian tak lupa membicarakan diri, kita. tentangmu yang sudah sama dengan kelelawar. Tidur siang, aktivitas malam. Kau sering lewat sholat subuh, boro-boro tahajud jika subuhpun tak mampu.
Kita mulai berbicara beberapa resolusi kebiasaan tidur yang tak baik dengan berbagai trik. “ohiya aku belum makan, lupa” sudah kuduga kau memang tak sayang pada diri sendiri. Makan sehar sekali, merokok, banyak kopi, dan tidur yang tidak jelas.
Kau bilang itu adalah karna tak kuasa menolak permintaan orang lain  ketika meminta tolong. Ini dan itu. Sudah kuduga. Kutanyakan hal yang cukup sensitif bagiku,  “rokok”. Di luar dugaan jawabanmu, satu bungkus rokok bisa kau habiskan dalam sehari. Aku terkejut, tentu saja. Itu terlalu berat dan menyebalkan. Kukira tak separah itu, aku sedikit kecewa, tentu saja.
Aku ingin kau memperbaiki semua itu, tidurmu, rokokmu, sholat dan sholat malammu, makanmu dan apa-apa yang menjadikanmu sakit.
Kau bercerita tentang beberapa hal yang telah kau lakukan untuk maajemen waktumu, kau mengundurkan diri dari beberapa organisasi kampus. Sekarang aku bisa melihat kau memang bisa dengan mudah melepaskan sesuatu. Tak sepertiku yang ketika aku mendapat kenyamanan dan cinta aku tak dapat melepasny hanya karna sedikit masalah.
Sangat disayangkan bagiku kluarnya dirimu dari beberapa hal yang sebenarnya sangat membutuhkanmu. Kau berceita ini dan itu membuatku bisa melihat keadaan yang ternyata sekarang sudah semakin memburuk.
Tak terasa waktu sudah menunjuka hampir setengah empat pagi, kurasa tidak ada waktu untuk tidur. Dan kita tetap terus berbicara tanpa peduli waktu, kita hanya membahasnya sedikit tentang aktu, tapi tak menghentikan pembicaraan karena waktu.
Katamu kita tak bisa bicara sampai pagi, tapi memang sudah pagi. Alarm tahajudku sudah berbunyi, dan, aku melewatkan tahajudku malam itu. Kau bilang itu salahmu, dan kamu mendapat dosanya. Jadi aku minta pertanggungjawaban dan kita saling menawar. Kuminta besok kau membangunkanku di jam yang sama untuk sholat malam, yang kemudian di hari serikutnya kau tidak menepatinya, hingga sekarang bahkan.
Adzan subuh sudah berkumandang ditempatku, dan kita masih asyik ngobrol dan diskusi, bukan untuk hal-hal bodoh, atau melenakan. Tapi kurasa diskusi itu cukup membuka mata. Kemudian katamu ayahmu telah terbangun. Kau berbicara dengan berbisik-bisik, kurasa karna takut jikalau ketahuan ayahmu.
Kurasa aku juga harus mengakhirinya karna kita sudah mejemput subuh dengan tepat waktu, obolan berakhir dengan suara bisikan-bisikan dan janji untuk segera sholat subuh dan membaca kalam suc kemudian lalu tidur.
Tapi aku tidak punya waktu untuk tidur, sama sekali. Subuh, tilawah, almatsurat, dan mentari sudah  menampakan sinarnya cukup jelas dan indah. Aku bergegas melaksanakan tugas-tugas wanita di rumah. Kubuka jendela, dan udara pagi memangla indah. Aku tidak merasakan kantuk sama sekali, dan kau siap untuk aktivitas dengan segar walau tanpa tidur sedetikpun.

Selamat pagi semesta, maaf jika aku bukan orang baik. Aku berusaha menjadi yang baik, meski bukan dengan jalan yang sempurna.

Komentar