Kutemukan Kembali Dirimu, di Ruang Nostalgia



KUTEMUKAN KEMBALI DIRIMU, DI RUANG NOSTALGIA

 (VNH)
Hujan rintik-rintik dan dinginnya udara pagi menusuk tulang. Dari kemarin malam hujan memang tak jua berhenti. Mungkin hujan begitu rindu terhadap bumi ini dan enggan meninggalkannya. Seorang mahasiswa semester satu universitas negeri duduk terdiam di depan jendela kamarnya. Memandangi pohon yang menari-nari dan daun-daun berjatuhan oleh angin yang saling bertiupan menambah hawa dingin hari-hari libur ini.  
Dimas, begitu orang-orang memanggilnya. Terlihat dia berdiri mencari sebuah buku lama di rak lemari bagian atas di sudut kamarnya. Tiba-tiba “prak!” sebuah kotak warna cokelat jatuh, sepintas nampak berdebu dan lama tak dijamah tangan manusia, sejumlah foto berserak-serak di latai. “ Apa ini ?” kata dimas. Dimas melihat foto-foto dengan itu dengan seksama lalu mendadak tatapan matanya menjadi kosong.  Ada sesuatua pada altar kenangan tentang seseorang di dalam foto itu.
 “ Diana, kamu sedang apa sekarang. Apa kabarmu, aku tidak tau bagaimana bisa aku kembali memikirkanmu setelah sekian lama kiranya aku lupa padamu, pada senyummu, pada tawamu, pada sosok dirimu yang menemaniku mengejakan tugas-tugasku. IP ku semester ini 3,8  bagaimana denganmu, dulu saat kita SMA kita selalu membicarakan IP, dimana kamu kuliah? Oh tidak, bahkan aku tidak tau dimana kau berada saat ini. Jika saja kita kembali dipetemukan wahai Diana”  Aroma secangkir kopi hitam yang begitu menggoda mengembalikan fokusnya.
Terdengar derap langkah seseorang menuju kamar Dimas, mengetuk pintu sejenak lalu masuk. “ Dimas, kamu sudah bangun kan. Seperti kesepakatan kita kemarin, setelah sarapan nanti temani Ibu kepasar, Ibu tau hari ini kamu tidak ada kerjaan kan. Jangan mengelak dan jangan bersiap terlalu lama.” Pintu Ibunya dengan nada bicara yang cepat namun tetap lembut. “Iya bu, Dimas tidak lupa. Dan akan mandi dulu, tidak lama .”
Dimas bersama ibunya pergi ke sebuah pasar tradisional, jarak tempuh  sekitar tiga puluh menit dari rumah besar itu. Dimas memang berasal dari keluarga yang kaya. Ayahnya adalah pemimpin perusahaan besar, ibunya dulu memegang perusahaan warisan dari kakenya yang kini telah diserahkannya kepada kakak laki-lakinya. Sanak saudaranya semua adalah orang-orang berada, namun Ibu Dimas adalah sosok wanita yang tidak sombong dan menyukai kesederhanaan. Sifat itu agaknya di turunkan kepada Dimas.
Mereka berkeliling mencari berbagai kebutuhan dapur, ibunya seringkali mengajak Dimas ke pasar daripada harus menyuruh pembantunya berbelanja. Meskipun agaknya Dimas sedikit kaku, namun dia maklum. Dan lagi, tidak ada anak perempuan di rumahnya untuk diajak belanja. Hanya ada dia, dan satu kakaknya.
“Bagaimana jika menu makan siang kita adalah kepiting asap? Atau kamu mau udang saja ? Dan...” belum selesai ibunya berbicara Dimas sudah terlihat meninggalkan ibunya. Hey kamu mau kemana....” teriak ibunya. Dimas diam, tidak berpaling dan bahkan tidak mendengar ibunya berbicaa padanya, sorot matanya fokus pada satu titik dimana seorang gadis berdiri sambil memilih berbagai macam buah di depannya. Dengan kerudung panjangnya yang berwarna cerah dan setelan baju biru langit, memancarkan senyum yang begitu ramah. Dimas terus mendekat dan mendekat beberapa langkah lagi dia akan sampai pada tujuannya
Dimas melambaikan  tangan dan tak lupa senyum bibir dengan wajah yang sumringah “ Diana.. Diana...” Gadis yag dituju itu mengarahkan pandangan kepadanya dengan wajah heran dan asing. Dan, seketika langkah Dimas terhenti. Dia mundur beberapa langkah dengan air muka yang begitu berbeda dari lima belas detik yang lalu. “ Itu bukan dia, itu bukan Diana.. itu bukan Diana..” seu Dimas pada dirinya sendiri.
Semakin menjauhkan diri dari gadis itu,  dimas pun membalikkan badannya dengan wajah yang   menunduk, lalu berjalan dengan nomal kembali dan matanya bergeliatan mencari ibunya yang dia tinggalkan. “ Dimas !” sambil menggelang kepala terheran melihat tingkah Dimas “Oh iya Ibu”  Dimas terkejut. “Aa maaf ibu, aku tadi seperti melihat seseoang disana”                                                                                                                                           
 “Iya! Memang ada banyak orang disana, bukan hanya seorang saja.”                                   “Bukan, bukan itu maksud ku. Ta-tapi..  baiklah bu aku yang salah “ Sambil mengekor ibunya kemanapun pergi, fikiran Dimas kembali pada kejadian yang dialaminya sambil mengutuki diri atas kekonyolan yang baru saja dia lakukan. Dimas dan ibunya telah menyelesaikan  berbagai belajaan itu dan berniat untuk mampir ke sebuah toko buku. Anak dan ibu ini memang sama-sama sangat gemar membaca berbagai buku, fiktif atau non  tiak masalah bagi mereka.
Mobil Suzuki baleno warna metallic premium silver itu mengehentikan lajunya di sebuah toko buku dengan nama Periplus. Sebuah toko buku yang cukup lengkap bahkan juga menyediakan layanan on line dan selalu jadi toko buku langganan keluarga itu. Begitu menginjakan kaki didalamnya pemandangan yang menyenangkan. Deretan buku begitu banyak  tertata rapi disana sini dan layanan pegawai yang ramah. Dan, ya. Itulah toko yang sama yang selalu di kunjunginya dahulu bersama Diana. Dahulu mereka sering kali mencari berbagai buku terkait pelajaran sekolah atau sekedar novel-novel incaran terbaru.
Diana sangat menyukai berbagai cerita fiksi dan horror . Ia ingat betul Diana sangat menyukai cerita-cerita lama seprti novel The Dead Zone kaya Stephen King yang sangat mengerikan. Tentang kisah Johni Smith yang mampu melihat kejadian masa lalu orang lain setelah bangun dari koma panjang. Atau  karya L. Ron  Hubbard berjudul Fear, misteri empat jam yang hilang. Dengan alurnya yang luar biasa. Masih tengiang-ngiang suara Diana yang sangat antusias saat membahas buku-buku yang nampaknya telah membuatnya begitu takjub. 
Terlihat di depan matanya sosok Diana dan dirinya dengan seragam putih abu-abu tengah memilih berbagai ensiklopedia “ Bagaimana jika kita kerjakan saja tugas-tugas itu besama dengan Rara dan Randi? Bukankah meeka juka belum mendapatkan kelompok kan? Tanya Diana. “ Iya, tentu saja. Tapi sebaiknya cepat selesaikan pemilihan ensiklopedia itu, sebelum hujan datang dan kita terlambat pulang.” Diana hanya membalas degan tawa kecil
“ Buku apa yang sedang kamu cari Dim?”Tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya dan menghilangkan fatamorgana yang tengah dilihatnya. “Oh tidak bu.” Ia menjawab dengan gugup. “Dimas tidak ingin membeli buku hari ini, hanya sekedar melihat-lihat. Apa Ibu sudah selesai? Mari kita pulang.”                                                                                                       “Kamu ini kenapa? Pipimu merah dan banyak melamun sejak tadi pagi. Sejak kapan kamu jadi aneh begini? Apa kamu sakit?”  Ibunya mengernyitkan alis. “ Emm.. tidak kok. Tidak ada apa-apa” sambil tersenyum seperti senyum terpaksa dan dengan langkah yang agak aneh Dimas berjalan kedepan.
Saat berjalan keluar dari pintu toko buku itu, dimas tanpa sengaja menabrak seseorang. Seseorang dengan beberapa buku ditanganya. Buku-buku itupun keluar dari tempatnya dan berserakan di depan matanya. Dengan refleks, Dimas langsung terkejut dan mengambil buku buku yang berserakan. “ Maaf, maaf aku tidak berhati-hati dalam berjalan hingga menjatuhkan buku-bukumu..” tukasnya. “ oh tidak apa-apa, berikan saja. Biarkan aku yang membereskannya sendiri, mungkin aku yang kurang berhati-hati karna berdiri sembarangan sambil membaca buku.” 
Dimas merasa ada yang aneh, sepetinya dia mengenal suara itu. Dia pun mengarahkan pandangannya pada wajah gadis di depannya. “ Diana, kamukah itu ?” Gadis itu sedikit kaget. “ Dimas? Wah.. ini aku,aku Diana..apakah kau benar-benar Dimas?”                                                                                                                           
 “A-aku Dimas, iya. Teman lamamu. Kemana saja kamu selama ini? Mengaa tidak ada kabar sedikitpun yang kau sisakan untukku? Tidak kah kamu merasa bahwa kamu begitu jahat. Aku mencarimu selama ini, tapi tidak ada sedikitpun jejakmu kutemukan.”                
 “Maafkan aku, saat itu semuanya begitu mendadak. Suatu hal mengharuskan kami untuk segera pindah dengan cepat. Dan aku tidak sempat memberi tahu kamu, tapi bukan berarti bahwa aku lupa. Aku hanya tidak sempat.”“Demikiankah? Dan sekarang kamu ada disini?”                   
 “Aku baru saja tiba pagi tadi, dan aku berniat mengujungi ibumu sore nanti. Akan aku ceritakan tentu saja. Aku tahu, kamu dan teman-teman yang lain merasa aku begitu jahat kan, karena pergi tanpa pamit dan tapa kabar hingga kini. Maafkan aku, itu bukan kemauanku. 
Dan sekarang aku harus segera pergi, sekali lagi maaf. “ gadis itu cepat-cepat beranjak dan mulai melangkah pergi. “Diana....Ribuan mil yag telah kita tempuh, aku tidak tau dimana awal, tidak pula tau dimana akhir..bisakah kau perjelas itu..“Maaf, tapi aku harus pergi” 
 “Baiklah, aku tidak akan biakan ego menguasai hatiku.” Perlahan-lahan gadis itu semakin jauh lepas dari pandangan, dan menghilang di sudut jalan itu.            
Ketukan keras pada pintu kamarnya membuyarkan lamunannya dalam posisi yang masih memegang tumpukan foto dan kotak cokelat berdebu. “ Dimas cepat keluar untuk srapan, dan.. ada sebuah surat dai Diana, teman lamamu.” Langit terlihat sudah sedikit cerah dan hujan telah berganti menjadi titik-titik gerimis bersama udara yang mulai menghangat. “ Baik bu, Dimas sebentar lagi keluar.”
Entah apa gerangan yang sedang Dimas alami, ilusi-ilusi tentang Diana terus saja bermunculan silih berganti. Mungkinkah itu yang namanya rindu? Mungkin begitu. Tapi satu yang pasti, rindu juga anugrah. Maka pantas untuk di syukuri dan nikmati dengan senang hati. “Bukankah pagi ini sangat romatis, dan aku tau senjaku akan indah. Puluhan purnamapun tetap kulewati, aku akan sabar dalam menantimu. 
Taati proses hari yang tidak pernah berjalan mundur untuk mengantarmu padaku. Kita akan kembali bercerita tantang senyuman bulan dan kedipan bintang-bintang malam, meksipun jika gumpalan berarak dimalam pekat menghalangi..Dan begitu ingin kumelihatmu, meski agaknya kau tersembunyi. Engkau begitu indah di hati ini, dan aku tidak perlu resah atau memikirkanmu berlarut-larut.  Aku percaya kau akan kembali, kepadaku..” Dimas tersenyum dengan pasti dan segera keluar dari kamarnya.

Komentar